Archive | May, 2009

POROS PENJAJAH : LIBERAL-KRISTENISASI- AHMADIYAH

22 May

Posted on January 23, 2008 by farid1924

Demonstrasi kali lain dari biasanya. Tampak dari beragam pakaian yang dipakai pendemo , pakain khas dari berbagai agama. Ada berpakaian muslim, kristen, Budha dan Hindu. Mereka mempersoalkan MUI yang telah mengeluarkan fatwa tentang Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya. Inilah yang dikecam Mashadi, ketua Forum Umat Islam (FUI). Menurutnya, apa urusannya orang kristen, budha dan Hindu mengurusi fatwa MUI. Dalam aksi senin (7/1) di depan Kejaksaan Agung ini, demonstran menolak fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Aksi unjuk rasa yang menamakan diri mereka Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) menuduh fatwa MUI ini telah memicu kerusahan dan kekerasan, terutama yang berkaitan dengan Ahmadiyah.

Sebagaimana yang diberitakan Hidayatullah.com , sebenarnya gerakan ini seminggu sebelum aksi telah ramai digalang di beberapa milis. Namun tak banyak masyarakat tahu. Bahkan situs Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) paling rajin menggang gerakan ini. Kelompok lsekuler-liberal yang terlibat dalam aksi ini antara lain ; Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Interfidei, Jaringan Kelompok Antar-iman se-Indonesia, MADIA, Wahid Institut, Maarif Institut, JIL, ada juga nama seperti Muhamad Ali, Ph.D, assistant Professor Religious Studies Department University of California, dan Djohan Efendy.

Memang kelompok-kelompok liberal dan sekuler , belakang memang gencar mangkampanyekan pembubaran MUI dan pembelaan terhadap aliran sesat seperti Ahmadiyah. Menurut mereka, fatwa MUI tentang aliran sesat merupakan pelanggaran HAM, kebebasan dalam memeluk keyakinan dan ajaran tertentu. Tuduhan lain fatwa MUI telah mengancam pluralisme. Isu Ahmadiyah pun dijadikan isu politik untuk mengkampanyekan ide-ide sesat seperti pluralisme dan liberalisme.

Serangan kelompok sekuler-liberal ini terhadap MUI bukan yang pertama kali. Kemarahan mereka memuncak ketika MUI memfatwakan sekulerism, liberalism, dan pluralisme adalah paham kufur dan menyesatkan karena itu haram untuk diamalkan oleh kaum muslim. Saat itu, salah satu pentolan JIL , Ulil Abshor Abdalla dengan emosi menuduh MUI dan ulama yang didalamnya tolol.

Kampanye massif pun dilakukan. Kelompok Liberal JIL seperti Luthfi Asy-syaukanie menulis di situs JIL bahwa fatwa yang berpotensi memicu kekerasan dan tindak intoleransi, berasal dari keompok ultra-konservatif dalam tubuh MUI itu. Saidiman juga menulis dengan judul yang provokatif di situs JIL : Ahmadiyah Dilarang Menyembah Tuhan. Menurutnya, hari Idul Adha, yang seharusnya menjadi peristiwa religius yang menggembirakan, terpaksa mereka jalani dengan duka. Mereka dilarang merayakan Idul Adha di rumah ibadah yang mereka bangun sendiri. Lebih jauh, mereka dihalangi untuk menyembah Tuhan.

Koordinator Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Ulil Abshar Abdallah justru menuding fatwa Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan Jemaah Ahmadiyah sebagai ajaran sesat sebagai pemicu aksi kekerasan. Dengan adanya fatwa MUI itu, massa merasa memiliki legitimasi untuk melakukan aksi kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah. “MUI harus bertanggungjawab terhadap aksi kekerasan dan harus dilaporkan ke pengadilan,” tutur Ulil yang juga aktivis Jaraingan Islam Liberal.

Tudingan miring terhadap fatwa MUI juga datang dari Dawam Rahardjo. Mantan Rektor Unisma Bekasi ini menganggap Keputusan Munas MUI No. 05/Kep/Munas/MUI/1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan sebagai sumber ‘teroris’. Bagi Dawam, keputusan MUI itu menjadi pemicu tindak kekerasan umat Islam terhadap jamaat Ahmadiyah.

Kerjasama kelompok liberal dan Ahmadiyah pun tampak dari pernyataan sikap bersama ICRP-JAI(Ahmadiyah), WI, AKKBB tanggal 9 November 2007. Dalam pernyataannya mereka dengan jelas menyerukan. sekulerisme seperti tampak dari point : Negara Sebaiknya Bersikap Adil dan Netral Terhadap Semua Penganut Kepercayaan, Sekte, dan Agama. Sementara dalam point kelima mereka mengecam fatwa MUI, tertulis : menghimbau kepada semua pemuka agama untuk menghentikan klaim sesat dan menyesatkan kepada kelompok lain. Fatwa penyesatan justru menjadi pendorong, pemicu, dan pembenaran tindak kekerasan oleh kelompok masyarakat tertentu.

Poros Penjajah

Kerjasama kelompok Sekuler-Liberal, Kristen dan Ahmadiyah, bisa dimengerti. Ada kesamaan pemikiran dan kepentingan dari kelompok ini. Dari segi pemikiran, kelompok-kelompok ini sama-sama menyerukan sekulerlisme, liberalisme dan pluralisme.

Dari segi kepentingan kelompok ini telah menjadi kaki tangan penjajahan Barat di negeri-negeri Islam. Kelompok Sekuler-Liberal dengan gagasan sekulerismenya berupaya membendung penegakan syariah dan Khilafah Islam. Sesuatu yang sangat ditakuti oleh Barat. Sebab, penegakan syariah dan Khilafah akan menghentikan penjajahan Barat di negeri-negeri Islam. Karena itu, mereka punya kepentingan untuk menjamin agar negeri-negeri Islam tetap menjadi negeri sekuler. Tidaklah mengheran kalau kelompok liberal kebakaran jenggot saat MUI mengharamkan liberalisme.

Bahwa kelompok liberal ini adalah agen penjajah tampak dari seruan yang sering mereka kampanyekan untuk mendistorsi jihad. Jihad dianggap sebatas melawan hawa nafsu, tak jarang jihad dituduh sebagai tindakan teroris. Jelas Barat punya kepentingan besar terhadap konsep jihad ini. Selama pemikiran jihad masih tertanam di jiwa kaum muslimin sulit bagi mereka untuk menaklukkan negeri-negeri Islam. Jihad yang dilakukan mujahidin Irak dan Afghansitan menjadi penghalang besar bagi AS untuk menguasai secara penuh negeri itu. Singkatnya, seruan jihad untuk memerangi penjajah akan menggangu penjajahan mereka.

Hal ini sejalan dengan Mirza Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiyah. Menurutnya jihad dengan pedang tidak berlaku lagi. „Sesungguhnya telah dibatalkan pada hari ini hukum jihad dengan pedang. Maka tidak ada lagi jihad setelah hari ini“ (Ruhani Khozain jilid 16). Tidak hanya itu Mirza Ghulam juga telah mewajibkan taat kepada pemerintah Inggris Raya yang saat itu banyak membunuh kaum muslim di negeri India. Mirza mengatakan : „ Sesungguhnya madzhabku dan aqidahku yang aku ulang-ulang bahwa Islam itu mempunyai dua bagian. Bagian pertama yaitu taat kepada Allah SWT, dan bagian kedua adalah taat kepada pemerintah Britania (Inggris Raya) yang telah memberikan keamanan dan melindungi kami dari orang dzalim. (Ruhani Khozain jilid 6). Berkaitan dengan ini para ulama yang tergabung di Liga Muslim Dunia (Rabithah ‘Alam Islami) saat melangsungkan konferensi tahunannya di Makkah Al-MukarramaH Saudi Arabia dari tanggal 14 s.d. 18 Rabiul Awwal 1394 H (6 s.d. 10 April 1974) yang diikuti oleh 140 delegasi negara-negara Muslim dan organisasi Muslim dari seluruh dunia mengeluarkan deklarasi liga muslim dunia yang menjelaskan penyimpangan ajaran Ahmadiyah. Dalam deklarasi Liga Muslim Dunia (Rabithah Alam Islami) Tahun 1974 disebutkan : Qadianiyah atau Ahmadiyah : adalah sebuah gerakan bawah tanah yang melawan Islam dan Muslim dunia, dengan penuh kepalsuan dan kebohongan mengaku sebagai sebuah aliran Islam; yang berkedok sebagai Islam dan untuk kepentingan keduniaan

Qadianiyah semula dibantu perkembangannya oleh imperialisme Inggris. Oleh sebab itu, Qadiani telah tumbuh dengan subur di bawah bendera Inggris. Gerakan ini telah sepenuhnya berkhianat dan berbohong dalam berhubungan dengan ummat Islam. Agaknya, mereka setia kepada Imperialisme dan Zionisme.

Sementara keberadaan kelompok kristen secara historis memang dimanfaatkan oleh negara penjajah untuk menghancurkan Islam. Kehancuran Khilafah Islam tidak bisa dilepaskan dari peran misionaris yang mengkampanyekan ide nasionalisme yang membuat umat Islam terpecahbelah. Kelompok Kristen juga bersama-sama penjajah memasuki negeri Islam.

Kristenisasi digunakan alat oleh penjajah untuk mengokohkan penjajahan di negeri Islam. Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum menyatakan : “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan Belanda… Kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan.”

Sekarang kelompok Kristen diduga berada dibalik proyek disintegrasi Indonesia. Kospirasi negara AS dan kafir Barat lainnya di Maluku dan wilayah-wilayah Indonesia lainnya kiranya menggunakan modus operandi kasus Timtim. Maluku yang mereka klaim adalah mayoritas Kristen, mereka provokasi agar bisa merdeka seperti Timtim. Sebagaimana, di Timtim mereka berada di belakang Falintil dan OPM di Irian, mereka juga nampaknya berada di belakang RMS (Republik Maluku Selatan, yang diplesetkan menjadi Republik Maluku Sarani, Sarani = Nasrani).

Walhasil, umat Islam harus mewaspadai melihat begitu besar dukungan terhadap jemaat Ahmadiyah, terutama dari kalangan Islam liberal. Jangan-jangan ada agenda tersembunyi yang mereka inginkan. Misalnya, memberikan cap negatif kepada MUI dengan menganggap fatwa MUI telah menimbulkan bentrokkan massa. Dengan demikian, kepercayaan umat Islam terhadap MUI menjadi luntur. Stempel negatif juga akan mereka berikan kepada ormas Islam yang selama ini memperjuangkan kemurnian ajaran Islam. Apalagi kini kesadaran umat Islam di Indonesia terhadap penegakkan syariah mulai terbangun kembali.Agenda panjangnya adalah agar liberalisasi agama di Indoensia tetap bertahan. Karena itu kemudian isu penyerangan terhadap jamaat Ahmadiyah itu sengaja dibesar-besarnya agar proyek pluralisme agama tetap berjalan. Bahkan uang puluhan miliar rupiah dari kapitalis asing seperti AS, Inggris, Australia dan lembaga dana zionis Yahudi tetap mengalir ke kantong LSM dan komprador yang ada di perguruan tinggi dan pemerintah. (FW)

http://farid1924.wordpress.com/2008/01/23/poros-penjajah-liberal-kristenisasi-ahmadiyah/

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

22 May

Mar 13, ’06 9:05 PM

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Islam yang tinggal ahlaq, tanpa jihad,

adalah Islam yang tinggal ibadah, tanpa syari’ah,

adalah Islam yang boleh menyinari rumah-tangga,
namun bukan industri atau niaga,

adalah Islam yang boleh ada di masjid dan mushola, tapi bukan kantor pemerintah dan swasta,

adalah Islam yang boleh bicara tentang akherat,
tapi tidak tentang cara melayani rakyat,

adalah Islam yang diamalkan para pertapa shufi,
dan bukan para umara’ yang peduli,
bukan alim ulama’ yang hati-hati,
bukan kaum aghniya’ yang zuhdi
bukan pula mujahidin yang tak takut mati.

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Islam yang mengemis pada Barat,
bukan yang mampu menolong sendiri ummat,
di Bosnia, di Palestina, atau di Iraq,
di manapun ummat berkhidmat,
apalagi menolong dunia dari laknat,
future schock, disorientasi kehidupan,
kerusakan ekosistem, AIDS, narkoba,
dan kesewenang-wenangan kapitalis keparat.

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Qur’an dibacakan di masjid dan arena tilawah,
bukan di sidang kabinet atau mahkamah,

adalah Qur’an disampaikan ke orang mati atau sekarat,
bukan pada orang hidup yang sehat,

adalah Qur’an diajarkan di madrasah dan pesantren,
bukan di sekolah bisnis yang keren,

Islam yang dikehendaki musuh-musuhnya

adalah Rasul sebagai panutan fatamorgana,
sedang selebriti kondang tetaplah idola,
bahkan terkadang Rasul pun sekedar,
tokoh historis yang juga bisa salah dan dosa.

Ya Allah, Islam seperti inikah yang kau janjikan sebagai rahmat bagi seluruh semesta?

Dan ummat seperti inikah yang Kau hadirkan sebagai yang terbaik ke tengah manusia?

(Wina, 1997)

http://famhar.multiply.com/journal/item/1

Munculnya Diktator Liberal

20 May

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 15 Juni 2006.

Muncul keheranan ketika membaca tulisan Saiful Mujani “Kelompok Islam Anarkis” (Media Indonesia 12/06/2006). Tulisan itu jauh dari karya seorang peneliti yang mestinya teliti dan berimbang, tetapi lebih merupakan suatu bentuk propagative-provocation (provokasi yang terus disebarkan dan diulang-ulang) yang akhir-akhir ini gencar dilakukan teman-teman dari kalangan yang menamakan diri Islam Liberal. Meski salah, lama kelamaan hal itu akan membentuk memori kolektif, dan akhirnya dianggap seolah-olah benar. Seperti kata Hitler, “kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran”.

Karena para penebarnya memiliki akses media, maka propaganda provokatif itu berlangsung massif. Namun kita cemas, alih-alih mencerahkan rakyat. Kelak mereka akan gigit jari, karena bisa terjadi sebaliknya, meminjam pepatah Arab: al-kadzdzab la yushaddiquhu wa lau kana shadiqan (para pembohong itu pada akhirnya omongannya tidak akan dianggap benar, sekalipun sesekali mereka benar).

Kita sadar, bahwa propaganda terkait dengan anarkisme kelompok Islam itu mempunyai tujuan akhir: pembubaran, pembekuan atau pelarangan ormas-ormas yang dicap melakukan anarkisme. Propaganda ini sedang menciptakan atmosfir yang kondusif bagi lahirnya kebijakan negara. Atmosfir yang kondusif itu akan digunakan sebagai justifikasi (pembenaran). Karena setiap kebijakan harus ada justifikasinya, baik logis maupun tidak. Nah, inilah yang terus-menerus digalang sampai tujuannya tercapai. Sayang kalau hal itu dibangun di atas kebohongan publik – apalagi oleh orang-orang yang mungkin pantas disebut intelektual.

Kasus Purwakarta, yang diidentikkan dengan insiden pengusiran Gus Dur, sengaja diperalat untuk mengadu-domba elemen-elemen Islam, meski pihak-pihak yang terlibat secara terbuka telah membantah adanya insiden itu. Sehari setelah kasus tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan klarifikasi (25/05/2006), diikuti pernyataan bersama MUI, sejumlah ormas dan kepolisian (26/05/2006), bahkan pada akhirnya Gus Dur sendiri (27/05/2006), yang intinya menyatakan bahwa kasus pengusiran itu tidak ada. Tetapi, tetap saja isu pengusiran dan anarkisme tersebut terus dihembuskan. Mobilisasi massa pun dilakukan atas nama pembelaan terhadap Gus Dur, bahkan disertai dengan tuntutan, dari sekedar minta maaf sampai pembubaran.

Bahkan, kemudian Pancasila dan NKRI dinyaringkan lagi, setelah sekian lama seperti “hilang” dari wacana publik. Mereka tampil bak pahlawan kesiangan, atasnama Pancasila dan NKRI, menuduh lawan-lawannya sebagai anti Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan mengulang-ulang propaganda ini, mereka terus memprovokasi penguasa untuk memberangus kebebasan lawan mereka.

Munculnya Diktator Liberal

Propaganda provokatif dengan kebohongan itu, diakui atau tidak, adalah bentuk kekalahan intelektual para pejuang kebebasan. Mereka tidak bisa lagi beragumentasi secara logis dan sehat. Maka, bahasa ototlah yang mereka gunakan: pembubaran dan pembekuan, yang kesemuanya menggunakan tangan besi penguasa. Pelan-pelan mereka telah bermetamorfosis menjadi Diktator Liberal, Diktator yang mengatasnamakan kebebasan.

Aneh, dalam mengusung freedom of speech (kebebasan berbicara), di satu sisi mereka sampai berani menghina al-Qur’an, Nabi, kesucian agama, dan menolak syariat Islam, dengan tameng demokrasi dan kebebasan, tapi di sisi lain, ketika orang lain menyuarakan penerapan syariat Islam, dan bahkan membuat UU dan perda dengan mengambil sumber syariat Islam, langsung dituduh bertentangan dengan demokrasi, Pancasila, UUD 45, memecah belah NKRI, dan tuduhan yang terkesan asal-asalan lainnya.

Sejujurnya, mana pasal / ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana pasal / ayat UUD 45 yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana sila-sila Pancasila yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Jadi kalau tidak ada, untuk apa ngotot seraya membohongi publik, dengan mengatakan bahwa penerapan syariat Islam jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, UU dan seterusnya. Apakah ini sikap yang intelektual?

Karena itu jangan tuduh orang lain yang menyuarakan aspirasinya untuk menerapkan syariat Islam dengan tuduhan melanggar hukum. Bukankah, UU dan perda-perda syariah itu lahir dari proses demokrasi? Ataukah demokrasi itu hanya untuk kepentingan kapitalis belaka, dan bukan untuk yang merindukan Islam? Kalau memang demikian, jangan klaim bahwa demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Dan, jangan salahkan, kalau orang Islam meyakini, bahwa demokrasi itu hanya alat penjajahan, bertentangan dengan Islam dan justru untuk memberangus kemuliaan Islam.

Maka, kalau atas nama demokrasi kebebasan menyampaikan aspirasi, berekspresi dan berserikat dibenarkan UU, keliru kalau kemudian ketika HTI, MMI, FPI atau PKS menyampaikan aspirasi dan mewacanakan sistem alternatif, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, politik dalam dan luar negeri yang berbasis syariah, sebagai wacana publik, kemudian disebut melanggar konstitusi. Konstitusi yang mana? <>Kalau logika itu dipakai, maka tak perlu lagi ada jurusan syariah, madrasah dan pesantren yang mengajarkan syariah, karena wacana syariah, sebagai wacana alternatif, dianggap melanggar konstitusi. Bedanya, HTI, MMI, FPI dan PKS mewacanakan syariah secara terbuka di ruang publik, melalui khutbah, buletin, majalah, koran, radio, televisi, dan internet sementara jurusan syariah, madrasah dan pesantren mewacanakannya di ruang-ruang kelas, dan sifatnya terbatas. Itu saja.  Ataukah propaganda ini memang untuk membendung Islamisasi, yang sering kali disebut Talibanisasi, Arabisasi, dan sebagainya itu?

Tuduhan bahwa HTI dengan konsep Khilafahnya akan menghancurkan NKRI itu juga terlalu mengada-ada. Kalau mau jujur, siapa yang mengingatkan rakyat negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka? Siapa yang mengingatkan potensi lepasnya Aceh dan Papua saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki? Siapa yang mengingatkan bahaya masuknya militer asing, dengan kedok bantuan kemanusiaan di Aceh, dan menyerahkan urusan Aceh kepada pihak asing, melalui AMM? Siapa yang memprotes lepasnya Blok Cepu ke tangan Exxon-Mobil, memprotes UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini tidak lagi memiliki “tanah-air”? Kita harus akui, bahwa saat itu, HTI membuktikan diri kesetiaannya pada negeri ini dengan menyebar puluhan ribu booklet tentang hal itu serta menggalang aksi damai di Jakarta dan beberapa kota, tanpa mereka sok Pancasilais, demokrat, dan seterusnya.

Sayang, mereka yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, HAM, Liberal, Pancasilais, konstitusional, justru berdiam diri dengan penjualan aset negara kepada asing, membiarkan martabatnya diinjak-injak dengan menerima donasi dari negara-negara penjajah, dan tidak menunjukkan dukacita sedikitpun, saat ekonomi kita hancur, budaya kita tergadai dan peradaban kita tenggelam dari kancah dunia.

http://famhar.multiply.com/journal/item/32

Berhala Modern Itu Bernama Nasionalisme

20 May

Selasa, 19/05/2009 16:01

Ada sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa suatu masyarakat sengaja menjadikan ”berhala” tertentu sebagai perekat hubungan antara satu individu dengan individu lainnya. Sedemikian rupa ”berhala” itu diagungkan sehingga para anggota masyarakat yang ”menyembahnya” merasakan tumbuhnya semacam ”kasih-sayang” di antara mereka satu sama lain.  Suatu bentuk kasih-sayang yang bersifat artifisial dan temporer. Ia bukan kasih-sayang yang sejati apalagi abadi. Gambaran mengenai berhala pencipta kasih-sayang palsu ini dijelaskan berkenaan dengan kisah Nabiyullah Ibrahim ’alaihis-salam.

 

وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ

فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ

بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

“Dan berkata Ibrahim ’alaihis-salam: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu melaknati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut ayat 25)

  “Berhala-berhala” di zaman dahulu adalah berupa patung-patung yang disembah dan dijadikan sebab bersatunya mereka yang sama2 menyembah berhala patung itu padahal berhala itu merupakan produk bikinan manusia. Di zaman modern sekarang “berhala” bisa berupa aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia. Manusia  di zaman skrg  juga “menyembah” berhala-berhala modern tersebut dan mereka menjadikannya sebagai “pemersatu” di antara aneka individu dan kelompok di dalam masyarakat. Berhala modern itu menciptakan semacam persatuan dan kasih-sayang yang berlaku sebatas  kehidupan mereka di dunia saja. Berhala modern itu bisa memiliki nama yang beraneka-ragam. Tapi apapun namanya, satu hal yang pasti bahwa ia semua merupakan produk fikiran terbatas manusia. Ia bisa bernama Komunisme, Sosialisme, Kapitalisme, Liberalisme, Nasionalisme atau apapun selain itu.

 Semenjak runtuhnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara ummat Islam 85 tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim di segenap penjuru dunia mulai menjalani kehidupan sosialberlandaskan sebuah faham yang sesungguhnya asing bagi mereka. Faham itu bernama Nasionalisme. Ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak dan menaungi kehidupan sosial ummat, mereka menghayati bahwa hanya aqidah Islam Laa ilaha illa Allah sajalah yang mempersatukan mereka satu sama lain. Hanya aqidah inilah yang menyebabkan meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi.  Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Dan yang lebih penting lagi bahwa ikatan persatuan dan kesatuan yang mereka jalin menembus batas dimensi waktu sehingga tidak hanya berlaku selagi mereka masih di dunia semata, melainkan jauh sampai kehidupan di akhirat kelak. Mengapa? Karena ikatan mereka berlandaskan perlombaan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hidup lagi Maha Abadi.

 

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

 ”Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf ayat 67)

 Orang-orang beriman tidak ingin menjalin pertemanan yang sebatas akrab di dunia namun di akhirat kemudian menjadi musuh satu sama lain. Oleh karenanya, mereka tidak akan pernah mau mengorbankan aqidahnya yang mereka yakini akan menimbulkan kasih-sayang hakiki dan abadi. Sesaatpun mereka tidak akan mau menggadaikan aqidahnya dengan faham atau ideologi selainnya. Sebab aqidah Islam merupakan pemersatu yang datang dan dijamin oleh Penciptanya pasti akan mewujudkan kehidupan berjamaah sejati dan tidak bakal mengantarkan kepada perpecahan dan bercerai-berainya jamaah tersebut.

 

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

 ”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dalam jamaah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Ali Imran ayat 103)

 Sewaktu ummat Islam hidup di bawah naungan Syariat Allah dalam tatanan Khilafah Islamiyyah mereka tidak mengenal bentuk ikatan kehidupan sosial selain Al-Islam. Mereka tidak pernah membangga-banggakan perbedaan suku dan bangsa satu sama lain. Betapapun realitas suku dan bangsa memang tetap wujud, tetapi ia tidak pernah mengalahkan kuatnya ikatan aqidah di dalam masyarakat. Sedangkan setelah masing-masing negeri kaum muslimin mengikuti jejak langkah Republik Turki Modern Sekuler, maka mulailah mereka mengekor kepada dunia barat yang hidup dengan membanggakan Nasionalisme masing-masing bangsa. Padahal bangsa-bangsa Barat tidak pernah benar-benar berhasil membangun soliditas sosial melalui man-made ideology tersebut. Akhirnya bangsa-bangsa Muslim mulai sibuk mencari-cari identitas Nasionalisme-nya masing-masing. Mulailah orang Indonesia lebih bangga dengan ke-Indonesiaannya daripada ke-Islamannya. Bangsa Mesir bangga dengan ke-Mesirannya. Bangsa Saudi bangga dengan ke-Saudiannya. Bangsa Turki bangga dengan ke-Turkiannya. Lalu perlahan tapi pasti kebanggaan akan Islam sebagai perekat hakiki dan abadi kian tahun kian meluntur.

 Sehingga di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an Asy-Syahid Sayyid Qutb rahimahullah menulis komentar mengenai surah Al-Ankabut ayat 25 di atas sebagai berikut: 

Ia (Ibrahim) ’alaihis-salam berkata kepada mereka (kaumnya), “Kalian menjadikan berhala-berhala sebagai sesembahan selain Allah, yang kalian lakukan bukan karena kalian mempercayai dan meyakini berhaknya berhala-berhala itu untuk disembah. Namun, itu kalian lakukan karena basa-basi kalian satu sama lain, dan karena keinginan untuk menjaga hubungan baik kalian satu sama lain, untuk menyembah berhala ini. Sehingga, seorang teman tak ingin meninggalkan sesembahan temannya (ketika kebenaran tampak baginya) semata karena untuk menjaga hubungan baik di antara mereka, dengan mengorbankan kebenaran dan akidah!”

 

Hal ini terjadi di tengah masyarakat yang tak menjadikan akidah dengan serius. Sehingga, mereka saling berusaha menyenangkan temannya dengan mengorbankan akidahnya, dan melihat masalah akidah itu sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan jika ia harus kehilangan teman! Ini adalah keseriusan yang benar-benar serius. Keseriusan yang tak menerima peremehan, santai, atau basa-basi.

 Kemudian Ibrahim’alaihis-salam menyingkapkan kepada mereka lembaran mereka di akhirat. Hubungan sesama teman yang mereka amat takut jika terganggu karena akidah, dan yang membuat mereka terpaksa menyembah berhala karena untuk menjaga hubungan itu, ternyata di akhirat menjadi permusuhan, saling kecam, dan perpecahan.

 ”…Kemudian di hari Kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain)….”

 Hari ketika para pengikut mengingkari orang-orang yang diikutinya, orang-orang yang dibeking mengkafirkan orang-orang yang membekingnya, setiap kelompok menuduh temannya sebagai pihak yang menyesatkannya, dan setiap orang yang sesat melaknat teman yang menyesatkannya!

 Kemudian kekafiran dan saling melaknat itu tak bermanfaat sama sekali, serta tak dapat menghalangi azab bagi siapapun.

”…Dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.”

 Mereka (kaumnya Nabi Ibrahim ’alaihis-salam) pernah menggunakan api untuk membakar Ibrahim ’alaihis-salam, tapi Allah kemudian membela dan menyelamatkan Ibrahim ’alaihis-salam dari api itu. Sementara mereka tak ada yang dapat menolong mereka dan tak ada keselamatan bagi mereka!

 Saudaraku, marilah kita tinggalkan segala bentuk “berhala modern” yang sadar ataupun tidak selama ini kita “sembah”. Kita jadikan faham selain Islam sebagai sebuah perekat antara satu sama lain, padahal persatuan dan kasih-sayang yang dihasilkannya hanya bersifat fatamorgana.  Marilah hanya AL-ISLAM  yang kita jadikan “faktor pemersatu” yang pasti terjamin akan mempersatukan kita di dunia dan di akhirat.  Al-Islam bukan produk manusia melainkan produk Allah Yg Maha Tahu dan Maha Sempurna pengetahuannya.

 Sedemikian hebatnya pengaruh Nasionalisme sehingga sebagian orang yang mengaku berjuang untuk kepentingan ummat-pun takluk di bawah ideologi buatan manusia yang satu ini. Betapa ironisnya perjuangan para politisi Islam tatkala mereka rela untuk menunjukkan inkonsistensi-nya di hadapan seluruh ummat demi meraih penerimaan dari fihak lain yang jelas-jelas mengusung Nasionalisme. Seolah kelompok yang mengusung ideologi Islam harus siap mengorbankan apapun demi mendapatkan keridhaan kelompok yang mengusung Nasionalisme. Seolah memelihara persatuan dan soliditas berlandaskan Nasionalisme jauh lebih penting dan utama daripada mewujudkan al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) berlandaskan aqidah Islam.

 Sedemikian dalamnya faham Nasionalisme telah merasuk ke dalam hati sebagian orang yang mengaku memperjuangkan aspirasi politik Islam sehingga rela mengatakan bahwa ”Isyu penegakkan Syariat Islam merupakan isyu yang sudah usang dan tidak relevan.” Tidakkah para politisi ini menyadari bahwa ucapan mereka seperti ini bisa menyebabkan rontoknya eksistensi Syahadatain di dalam dirinya? Dengan kata lain ucapannya telah mengundang virus ke-murtad-an kepada si pengucapnya. Wa na’udzubillahi min dzaalika.

 Sebagian orang berdalih bahwa jika kita mengusung syiar ”Penegakkan Syariat Islam”  lalu  bagaimana dengan nasib orang-orang di luar Islam? Saudaraku, disinilah tugas kita orang-orang beriman untuk mempromosikan Islam sebagai “faktor pemersatu” yg bersifat Rahmatan lil ‘aalamiin. Tidakkah terasa aneh bila “mereka” bisa dan boleh dibiarkan mendikte aneka isme/ ideologi/ falsafah/ jalan hidup/ way of life/ sistem hidup/ pandangan hidup produk bikinan manusia kepada kita umat Islam, sedangkan kita umat Islam tidak mampu –bahkan kadang tidak mau- mempromosikan (baca: berda’wah) menyebarluaskan ajaran Allah kepada “mereka”? Wallahua’lam.-

 

وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ

أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ

 

”Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu”. (QS Ali Imran ayat 73)

http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/berhala-modern-itu-bernama-nasionalisme.htm

Tokoh-tokoh Pluralisme Agama

15 May

Oleh: Dwi Budiman
Mahasiswa S-2 Pendidikan dan Pemikiran Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor

Rene Guénon
Pelopor Filsafat Abadi

Rene Guénon lahir di Blois, Perancis pada tanggal 15 November 1886. Sejak umur 18 tahun ia sudah mulai mempelajari agama-agama Timur, khususnya Hinduisme, Taoisme dan Islam. Tahun 1906 ia pergi ke Paris, di sana ia masuk ke sekolah Free School of Hermetic Scienses yang didirikan oleh Gerard Encausse, seorang tokoh freemason dan pendiri masyarakat teosofi di Perancis.

Di sekolah ini Guénon intensif mengkaji hal-hal berbau mistis. Di sekolah ini pula Guénon berkenalan denga sejumlah tokoh Freemason, Teosofi dan berbagai gerakan spiritual lainnya. Guénon sangat tertarik dengan gerakan-gerakan semacam ini, hingga ia aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi, dan aktifitas tentang mistis dan freemason. Ringkasnya freemason merupakan ketertarikan Guénon yang pa ling besar sepanjang hidupnya. Karena bagi Guénon freemason adalah wadah dari hikmah tradisional yang luas, dan kaya dalam simbolisme serta ritual. Guénon juga yakin bahwa freemason adalah cara terbaik untuk menjaga banyak aspek dari agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.

Tahun 1912 Guénon mulai tertarik dengan sufisme, dan akhirnya memeluk Islam dengan nama Abd al-Wahid Yahya. Ia tetap gandrung terhadap mistis. Tahun 1930 Guénon pergi ke Mesir untuk meneliti dan mempelajari teks -teks sufi. Sejak itu ia menetap di Mesir hingga meninggal pada tang gal 7 Januari 1951.

Pemikiran utama Guénon adalah filsafat abadi (perenialisme). Menurutnya filsafat abadi adalah ilmu spiritual yang memiliki keutamaan dibanding ilmu lainnya. Meskipun ilmu-ilmu lain harus tetap dicari, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual ini. Menurutnya substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden serta bersifat universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama atau kepercayaan tertentu. Ia adalah milik bersama semua agama dan kepercayaan yang ada.

Adapun perbedaan teknis yang terjadi pada setiap agama dan kepercayaan merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan “Kebenaran yang satu”. Pebedaan ter sebut menurutnya sah-sah saja, karena setiap agama me miliki cara yang unik untuk memahami Realitas Akhir. Maka se bagai hasil dari pengalaman spiritualnya dalam gerakan teo sofi dan freemason, Guénon menyimpulkan bahwa semua aga ma memiliki kebenaran dan bersatu pada level batin (eso teris), sekalipun pada level lahir (eksoteris) berbeda-beda.

Karena keyakinannya itu Guénon kemudian berusaha menghidupkan kembali filsafat abadi yang menurutnya telah banyak hilang digerus arus modernisasi. Tak heran jika Nasr me nyebut Guénon bersama dengan Fritjhof Schuon dan Anan da Coomaraswamy sebagai Para Guru (The Mas ters) da lam bidang filsafat abadi atau biasa disebut juga filsafat perennial.

Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Perancis, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Diantaranya: the symbolism of the cross, the crisis of the modern world dan the multiple states of being.

Selanjutnya pemikiran-pemikiran agama atau kepercayaan mengenai Filsafat Abadi ini banyak diikuti oleh kaum Pluralis Agama. Salah seorang yang paling terkenal adalah Fritjhof Schuon yang dikemudian hari terkenal dengan teori Kesatuan Transenden Agama- agama.

Frithjof Schuon
Pengusung ide “Kesatuan Transenden Agama-agama”

Kesatuan Transenden Agamaagama” adalah salah satu teori besar dalam wacana Pluralisme Agama. Tokoh utamanya adalah Frithjof Schuon, seorang cendekiawan berkebangsaan Jerman yang oleh Seyyed Hossein Nasr dianggap sebagai orang yang paling otoritatif dalam masalah ini. Dengan teorinya itu Schuon yang kelahiran Basel, Swiss, tanggal 18 Juni 1907 ini berkeyakinan bahwa sekalipun pada tataran luarnya agama berbeda-beda, namun pada hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain, kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden.

Keyakinan Schuon diatas berangkat dari pandangannya bahwa semua agama mempunyai dua realitas atau hakikat, yaitu eksoteris dan esoteris. Hakikat eksoteris adalah hakikat lahir, dimana pada level ini semua agama memiliki dogma, hukum, ritual dan keyakinan yang berbeda-beda, dan bahkan saling bertentangan. Sementara hakikat esoteris adalah hakikat batin, dimana semua agama dengan segala perbedaan dan pertentangannya tadi bertemu. Disinilah terletak titik temu agama-agama itu. Jadi level eksoteris bagaikan ‘badan’ agama sementara level esoteris adalah ‘hati’ dari agama. Level eksoteris berbeda-beda, namun level esoteris adalah sama. Karena itulah Schuon menyebut teorinya ini dengan ‘the transcendent unity of religions’ (kesatuan transenden agama-agama).

Sehingga dengan demikian, dalam pandangan Schuon, semua agama dipisahkan bukan dengan sebuah garis vertikal, tapi justru dengan sebuah garis horizontal yang membelah semua agama. Garis itu tidak memisahkan antara agama yang satu dengan agama lainnya, tapi memisahkan antara le vel bawah (eksoteris) semua agama dengan level atas (esote ris) nya. Semua ini menurut Schuon menunjukan bahwa yang mutlak atau absolut dalam semua agama adalah dimensi esoterisnya. Sementara dimensi eksoterisnya harus bersifat relative untuk berkoeksistensi dengan agama-agama lainnya.

Dalam konteks pandangan Schuon terhadap keberagaman agama ini, pernyataan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara teoritis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, keberagaman bentuk luar (eksoteris) agama-agama tadi tidak boleh dirubah-rubah atau dilebur (sinkretis), tapi harus dibiarkan apa adanya, karena titik temu agama-agama bukan berada pada level itu, tapi berada pada level batin (esoteris).

Menurut peneliti INSISTS, Adnin Armas, pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris ini secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris-pun terdapat perbedaan antara Islam dengan agama-agama lainnya. Ini terbukti dari adanya ajaran Islam yang menunjukan kesalahan-kesalahan agama lain, baik pada level eksoteris maupun pada level esoteris.

Masih menurut Adnin, pemikiran Schuon ini juga agak sulit untuk dimengerti karena merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Karenanya pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri sebab pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada manusia lainnya, ia hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu dari setiap agama. Jadi kesatuan transenden agama-agama seperti itu tidak dapat disebut sebagai agama, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan. Sehingga konsep Schuon itu menurut Adnin harusnya diubah menjadi ‘Kesatuan transenden pengalaman-pengalaman keagamaan’.

Pengalaman Schuon dalam beragama memang cukup panjang. Awalnya ia seorang Kristen, kemudian dikabarkan memeluk Islam dan berganti nama menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alwi al-Maryami. Namun tidak terdapat banyak data mengenai kebenaran dan kapan persisnya ia masuk Islam. Yang pasti, Schuon pernah berkunjung ke Aljazair dan Afrika Utara, dan disana ia tertarik dengan sufisme, bahkan menjadi murid Syaikh al-Alwi seorang syaikh sufi di sana-. Tiga tahun kemudian Schuon kembali berkunjung ke Aljazair dan Maroko.

Schuon yang menikah tahun 1949 dengan seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman ini juga sempat mengunjungi India dan Mesir. Tak heran jika karya-karya klasik dari timur seperti Upanishad, Bhagavad – Gita dan Seribu Satu Malam sangat menarik perhatian dan mempengaruhi pemikirannya. Schuon juga sempat berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman mereka yang bersuku Indian Sioux dan Crow.

Tahun 1980 Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1998 di Bloomington dengan meninggalkan 20-an lebih karya. Meskipun masih bermaslah, sayangnya, pemikirannya dipuji dan diikuti oleh banyak intelektual bertaraf internasional dan lintas agama.

John Hick
Penggagas Teologi Global

Menurut Dr. Anis Malik Thoha, Prof. John Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana Pluralisme Agama. Sebab, da adalah orang yang paling banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif. Dengan usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Cina dan Jepang.

Professor John Harwood Hick, lahir di Yorkshire, Inggris, tahun 1922, mendapat gelar doktor dari Universitas Oxford dan Universitas Edinburgh. Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Uppsala dan Universitas Glasgow. Pernah menjabat Wakil Presiden the British Society for the Philosophy of Religion and of the World Congress of Faiths. Kisah hidupnya ditulis dalam sebuah buku berjudul John Hick: An Autobiography (2002).

Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya terhadap globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-cara beragama, sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih menyerupai sekte daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal. Hick kemudian menamakan agama yang telah bersatu itu dengan global theology (teologi global).

Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan yang ia sebuat dengan, “Transformasi orientasi dari pemusatan ‘agama’ menuju pemusatan ‘Tuhan’ /The transformation from self-centredness to Reality – centredness”. Teori Hick ini mengatakan bahwa agama-agama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang absolut.

Realitas yang absolute itu menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya yang ia sebut dengan istilah “The Real Yang Absolut”. Sementara Tuhan-tuhan yang ada pada setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick sebagai Tuhantuhan realtif karena hanya merupakan imej masing-masing pemeluk agama terhadap The Real Yang Absolut tadi. Jadi The Real itu pada dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan imej Tuhan yang berbedabeda pula.

Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam semua agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang absolute, telah mengalami perubahan yang sangat besar menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan keselamatan yang ada.

Dengan demikian upaya mempermasalahkan benar (haq) dan salah (bathil) terhadap agama-agama menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Karena dengan teorinya ini Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang ada. Hick sering menggambarkan teorinya ini dengan menukil secara bebas perkataan Jalaluddin Rumi, “The lamps are different, but the Light is the same.” (Walaupun lampu-lampunya berbeda tapi Cahayanya sama). Dalam kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, Hick juga menemukan kalimat “Whatever path men choose is mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milik-Ku).

Teori Hick ini menurut Anis Malik Thoha sebetulnya sangatlah lemah. Sebab jika Hick mengatakan bahwa Tuhan yang diyakini umat Islam dan Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain adalah sama relatifnya karena merupakan respon yang berbeda-beda terhadap The Real, maka siapakah yang menentukan bahwa Tuhan-tuhan itu relative?. Jika yang menentukan itu adalah Hick sendiri, bukankah pemikiran Hick itu juga adalah relative?. Jika kemudian Hick bersikeras mengatakan bahwa pandangannya sendirilah yang benar secara absolute sementara pandangan lainnya salah, maka runtuhlah teori Hick ini dengan sendirinya. Karena jika Hick beranggapan demikian, maka orang lain pun berhak menga takan pendapatnya yang benar.

Selain itu menurut Anis, Hick telah melakukan kebohongan intelektual dengan mengutip perkataan Rumi sepotongsepotong, sehingga seolah-olah mendukung gagasannya itu. Padahal jika dibaca secara utuh, perkataan Rumi itu justru menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara orang beriman dan pemeluk agama lain. Sebab tulisan Rumi selanjutnya adalah, “Dari pemandangan yang objektif, Wahai Yang Maha Wujud, lahirlah perbedaan antara orang beriman yang sebenarnya dan orang Zoroaster dan Yahudi.” (Lihat, Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 2006).

(-)

http://republika.co.id/koran/155/50234/Tokoh_tokoh_Pluralisme_Agama

Dr. Anis Malik Thoha, Pemainnya semakin banyak

15 May

Kamis, 14 Mei 2009 pukul 23:57:00

Kita tidak boleh mudah terjebak pada propaganda Pluralisme Agama, yang sekarang disebarkan dengan berbagai cara. Mulai dari propaganda melalui media massa sampai melalui jalur akademis.

Bisa dikatakan, Dr. Anis Malik Thoha adalah salah satu pakar terkemuka tentang Pluralisme Agama kawasan Asia Tenggara, saat ini. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Perbandingan Agama di International Islamic University Malaysia (IIUM). Kini, Dr. Anis yang juga Rais Syuriah NU Malaysia ini menjabat sebagai Deputy Dean IIUM Press, Research Management Centre IIUM. Di Indonesia, bukunya yang berjudul “Tren Pluralisme Agama” mendapat penghargaan sebagai buku terbaik di Islamic Book Fair Award 2007 di Jakarta. Buku ini dalam edisi Arab dan Inggris sebelumnya mendapat penghargaan di Pakistan dan Malaysia. Ditemui redaktur Islamia, Nuim Hidayat, di kampusnya, International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, pada 1 Mei 2009 lalu, Dr. Anis Malik Thoha mengemukakan pandangannya tentang penyebaran paham Pluralisme Agama ini.

Bagaimana perkembangan ide pluralisme agama di Malaysia dan Indonesia?

Ya, memang mereka tidak akan berhenti mengkampayekan ini. Indikasinya makin kuat, dengan banyak sekali pemain baru di samping pemain lama. Bahkan tidak hanya pemain individual, tapi juga pemain yang menggunakan institusi atau lembaga yang terkenal yang bernaung di bawah universitas. Tentu ini efeknya luar biasa. Pemikiran wacana liberal ini memang merupakan output dari beberapa orang, tapi dengan semangat dan kegigihan mereka yang ditopang dengan dukung an politik masa Orba dulu dan tambahan dukungan dana luar biasa, maka sekarang kita lihat hasil jerih payah mereka ini cukup berhasil. Sekarang ini pemainnya sudah semakin banyak. Ada lembaga semi pemerintah, LSM-LSM, dan sebagainya berjubel untuk menyebarkan program ini ke tengah masyarakat.

Di Malaysia sendiri bagaimana?

Untuk di Malaysia, memang sedikit ada kebebasan dari pemerintah. Dan itu dimanfaatkan oleh masyarakat di sini. Sejumlah kelompok liberal di Malaysia cukup aktif menggalang kerjasama dengan kelompok-kelompok yang samasama berpikiran liberal. Saya beberapa kali diundang untuk menghadiri forumforum mereka. Mereka didukung oleh lembaga-lembaga yang didanai negaranegara Barat. Terakhir saya baca ada yang berhasil merekrut banyak aktivis feminisme seluruh dunia, dengan mengadakan pertemuan di Malaysia pada Februari 2009 lalu. Mereka mendeklarasikan ‘Global Musawwa’. Jadi mereka mendekalarasikan gerakan global tentang feminisme. Mereka menginginkan equality persamaan penuh, bukan equity keadilan.

Mereka juga bersepakat dengan liberalisme atau pluralisme?

Secara otomtatis. Liberalisme itu sudah satu satu paket dengan feminisme, pluralisme persamaan gender dan sejenisnya. Itu sudah satu paket. Jadi kalau kita lihat pemainnya memang bukan semakin berkurang.

Ada juga yang memanfaatkan jalur ilmiah seperti menulis disertasi doktor untuk penyebaran paham ini?

Sebenarnya untuk kajian akademis, tesis dan sejenisnya itu sebenarnya nggak perlu kita takutkan. Tentu selama kajian itu dilakukan dengan kaidah-kaidah akademis. Dilakukan secara amanah dan tidak berusaha untuk memaksakan pra asumsi. Jadi, jangan mencari-cari ayat al-Quran untuk melakukan pembenaran paham yang sebenarnya bertentangan dengan ajaran Islam.

Jadi bagaimana kaitan antara toleransi dan pluralisme agama?

Sering orang mengacaukan antara toleransi dan pluralisme agama, dengan tidak mendefinisikan dengan baik arti “pluralisme agama” itu sendiri. Cara semacam ini bukan kajian akademis yang baik. Definisi ini sangat penting, supaya tidak keliru dalam memberikan penilaian. Jika seseorang memahami pluralisme sebagai toleransi, maka dia telah keliru. Hal seperti ini terjadi di Indonesia dan juga di Malaysia. Pluralisme agama ini adalah suatu istilah yang sudah digunakan oleh para ahlinya. Tiba-tiba dipahami dengan sangat simple. Ini kan tidak benar.
Saya sangat prihatin, kadangkala ada kalangan cendekiawan bahkan yang bergelar guru besar yang memuji-muji satu karya tentang pluralisme tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Misalnya, dalam mengutip pendapat para pemikir klasik seperti Ibn Arabi dan Jalaluddin Rumi tidak dicek pada sumber aslinya. Tetapi hanya menyandarkan pada literatur Barat. Ini sangat tidak baik, dan kurang ilmiah. Sikap kritis ini harusnya muncul pada kalangan cendekiawan, sehingga tidak salah dalam menilai sesuatu. Intinya, kita tidak boleh mudah terjebak pada propaganda Pluralisme Agama, yang sekarang disebarkan dengan berbagai cara. Mulai dari propaganda melalui media massa sampai melalui jalur akademis.

Imam al-Ghazali sangat menekankan bahaya ulama as-su’ bagi umat Islam. Anda melihat relevansi dengan kondisi saat ini?
Ya. Itu ulama yang akhlaknya tidak baik. Ulama yang mengejar kepentingan sesaat, atau mencari dan menyebarkan ilmu bukan untuk tujuan yang mulia dari ilmu itu sendiri, tetapi untuk kepentingan sesaat. Setiap zaman akan selalu ada. Umat Islam diminta untuk mewaspadai benar-benar masalah ini.

APA KATA MEREKA

“Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah serta lembagalembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan. (http://www.usembassyjakarta. org/bhs/Laporan/indonesia_Lapora n_deplu-AS.html)

Dr. Stevri Lumintang
Teolog Protestan

‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas( an) kebenaran yang ada di masingmasing agama. Di dalam konteks kekristenan, mereka harus menghancurkan keyakinan dan pengajaran tentang Yesus Kristus sebagai pernyataan Allah yang final.’’

(Stevri Lumintang, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).

Dr. Anis Malik Thoha
Cendekiawan Muslim

“Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.”

Dr. Frank Gaetano Morales
Cendekiawan Hindu

“Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental menenangkan, namun tanpa pemikiran bahwa “semua agama adalah sama”, kita sedang tanpa sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno ini, dan membantu memperlemah matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang paling dalam. Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.”

(Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006)

(-)
 http://www.republika.co.id/koran/0/50235

Hotel di Austria: Maaf, Tidak Ada Kamar untuk Yahudi

13 May

warnaislam.com — Sebuah hotel di Wilayah Tyrol, Austria, secara terang-terangan menyatakan tidak akan menerima tamu-tamu  Yahudi. Pihak hotel menuliskan di hotelnya ‘Tidak Ada Kamar untuk Yahudi’. Demikian seperti disitat aljazeera, Senin (11/5).
 
Harian setempat Tiroler Tageszeitung, seperti dilansir aljazeera, menyebutkan bahwa keputusan hotel itu telah memicu polemik di media massa setempat dan di kalangan industri parawisata.
 
Sebelumnya diberitakan bahwa sebuah keluarga yang beranggotakan tujuh orang dan bermukim di Wina telah memesan kamar di Hotel Haus Sonnenhof di Desa Serfaus. Namun pemilik hotel memberikan jawaban melalu surat elektronik bahwa meski banyak kamar kosong tapi pihaknya tak akan menerima orang-orang Yahudi itu karena mereka punya pengalaman buruk sebelumnya dengan orang-orang Yahudi.
 
Sementara pemilik Hotel Alpenruh-Micheluzzi, Petra Micheluzzi, menngatakan kepada German Press Agency DPA bahwa penolakan yang dilakukan pihak hotel di Tyrol itu akan menghancurkan upaya keras yang telah dilakukan para pelaku industri parawisata.
 
Untuk diketahui, dalam beberapa tahun terakhir wilayah Serfaus dan sekitarnya adalah wilayah yang sangat menarik perhatian wisatawan Yahudi, di mana sejumlah hotel di wilayah tersebut mulai menyeiapkan hidangan makanan-makanan yang sesuai dengan ritual Yahudi.
 penulis :
 Mochamad Ilyas

http://warnaislam.com/berita/dunia/2009/5/11/61800/Hotel_Austria_Maaf_Tidak_Ada_Kamar_Yahudi.htm