Archive | June, 2009

MENGISLAMKAN POLITIK

20 Jun

Ditulis Oleh Adnin Armas   

Politik Sekular
Awal abad 20, politik sekular yang sebe lumnya tersebar di Barat, mulai nyusup ke pemikiran para pemimpin dan pemikir Mus lim. Mustafa Kemal Attartuk, Kepala Negara Turki, yang meninggal gara-gara can du alkohol, menceraikan Islam dari politik. Pada tanggal 3 Maret 1924, ia men deklarasikan pelarangan Islam seba gai landasan untuk berpolitik. Ia menentang ekspresi keimanan di ruang publik. Ia melarang penggunaan jilbab, fez (ko piah Turki) di tempat-tempat umum dan menggantinya dengan topi koboi. Ia melarang penggunaan huruf Arab serta mengg alihkannya ke abjad yang berbahasa Latin. Ideologi sekular bukan hanya diprakar sai oleh pemimpin, namun juga disebarkan oleh beberapa pemikir Muslim. Se orang “ulama” al-Azhar, sekaligus menjabat sebagai seorang Hakim Syar’iyyah di al-Manshurah, Mesir, Ali Abdul Raziq me nerbitkan buku berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar dari Pemerintahan). Dalam buku yang diterbitkan bulan April 1925, Ali Abdul Raziq menegaskan bahwa Islam sama sekali tidak mengatur pemerintahan. Islam tidak bisa dijadikan sebagai acuan sistem sebuah pemerintahan. Islam hanyalah sebuah norma keagamaan dan sama sekali tidak terkait dengan politik. Bagi nya, Islam jangan diikutsertakan untuk mengatur masyarakat dan negara.

Ideologi politik sekular semakin bergema dan mempengaruhi para pemikir Mus lim lainnya. Mohammed Arkoun, seorang profesor studi Islam di Sorbonne, Perancis, misalnya, berpendapat bahwa sekularisasi akan membebaskan kaum Mus lim dari kekangan-kekangan ideologis. (Lihat Muhammad Arkoun, al-’Almanah wa al-Din: al-Islam, al-Masihiyyah-al-Gharb, Penerjemah. Hashim Salih, London: Dar al-Saqa, 1990, hlm. 23). Masih dalam irama yang sama, seorang profe sor studi Islam di Leiden, Belanda, Nasr Hamid Abu Zayd juga menyeru wacana se kular (al-khitab al-’ilmani) seraya mengkritik wacana agama (naqd al-khi tab aldini). Menurutnya, negara tidak bi sa dibangun di atas ‘Syariah’ karena ‘Syariah’ hanyalah semata-mata produk manusia. Bahkan al-Qur’an sendiri ketika di wahyukan kepada Nabi, maka al-Qur’an itu sudah berubah dari wahyu menjadi penafsiran manusia (Nabi). (Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, Edisi Pertama, hlm. 93). Sama halnya dengan kedua profesor tersebut, profesor Abdullah Ahmed an-Naim, pakar Hukum di Emory Law School, Atlanta, Amerika Serikat, menyimpulkan da lam bukunya yang diterjemahkan ke ba hasa Indonesia, Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, bahwa Negara tidak boleh memaksakan prinsip-prinsip syariah dalam bernegara. Seandainyapun prinsip-prinsip syariah itupun diaplikasikan, maka ia harus melalui “nalar publik” dan itupun harus tunduk kepada konstitusi dan hak asasi manusia.

Kini, sebagai dampak dari pemimpin dan pemikir Muslim yang menggemakan ideologi sekular, masyarakat umum pun su dah kadung menganggap politik sekular se bagai suatu yang lumrah bahkan seba gai sebuah keniscayaan. Masyarakat se kular kini menyatakan agama supaya ti dak dipolitisir. Politik tidaklah sakral dan pemerintah tidak boleh memerintah atas nama ‘hak Tuhan.’ Masyarakat sekular meyakini jika wilayah agama dicampur-aduk dengan wilayah politik, maka kon flik akan terjadi. Sebaliknya, jika agama itu itu anti politik, konflik tidak akan ter jadi.

Politik sekular sebenarnya merupakan manifestasi dari pandangan-hidup sekular. Jadi, konsep politik sekular terkait rapat dengan berbagai konsep lainnya seperti konsep Tuhan, Wahyu, alam, psikologi manusia, makna nilai kemanusiaan, kebebasan dan kebaikan. Dalam ideo logi sekular, Tuhan dipersepsikan tidak campur-tangan di bumi; Wahyu dianggap privat dan tidak mengatur publik (masyarakat dan negara); dunia dianggap sebagai realitas yang lebih penting dibanding de ngan akhirat yang masa berlakunya belum terjadi; hukum duniawi diprioritas kan karena hukum ukhrawi dianggap masa berlakunya bukan di dunia, tapi di alam entah-berantah; manusia dianggap sebagai makhluk duniawi yang bersifat selalu terbuka; nilai-nilai diri manusia akan selalu berubah; dan manusia dianggap memiliki kebebasan, dsb. Pandanganhidup sekular merupakan jiwa dari politik sekular.

Politik Islam
Berbeda dengan politik sekular yang bersumber kepada spekulasi akal yang rentan berubah, politik Islam bersumber ke pada Wahyu. Jadi, sistem, nilai, visi, misi dan agen da dalam politik Islam juga di dasarkan kepada, dan diderivasi dari Wahyu. Politik Is lam tidak akan memper juangkan nilainilai yang berten tangan dengan Wahyu seperti memperjuangkan kebebasan kesesatan akidah, kebebasan seks seperti gerakan homoseksual, lesbianisme, pornografi, dan lainnya. Seba liknya, politik sekular bisa melindungi dan menyebarkan kekeliruan-kekeliruan kepada masyarakat dengan mengkambing-hitamkan kebebasan, relativitas nilai dan budaya. Politik sekular ber juang un tuk meraih kekuasaan yang dibangun dengan dasar kepentingan. Tiada musuh yang abadi dalam politik ka rena yang ada adalah kepentingan. Inilah jargon sekular yang sering dilontarkan. Dampaknya, politik sekular tidak memiliki integritas. Dengan konsep moral yang pragmatis, se mua serba boleh, asal kan kekuasaan dapat diraih. Jikapun terdapat integritas, maka integritas itupun di bangun di atas filsafat pragmatis. Se dangkan dalam politik Islam, yang diperjuangkan adalah kebenaran, bukan semata-mata kekuasaan. Kebenaran lebih penting dari kemenangan yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Kekuasaan diraih de ngan kebenaran dan kekuasaan adalah ama nah dan sarana dakwah, untuk me nyebarkan rahmat Allah di atas muka bumi.

Konsep politik Islam merupakan manifestasi dari pandangan-hidup Islam. Jadi, bagaikan sebuah sistem yang saling ter kait, konsep politik Islam terkait dengan berbagai konsep lainnya seperti konsep Tuhan, Wahyu, alam, psikologi manusia, mak na nilai kemanusiaan, kebebasan dan kebaikan. Mayoritas kaum Muslimin meng akui bahwa tujuan hidup adalah untuk beribadah kepada-Nya. Wahyu adalah otentik dan paripurna, bukan hanya un tuk individu tetapi juga untuk ma syarakat. Disebabkan Wahyu memiliki kepastian kebenaran, maka Islam bisa dijadikan landasan bukan hanya bagi sistem politik, tetapi juga sistem ekonomi, sosial dan lainnya. Islam tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah di ke tahui dari agama dengan sangat jelas (al-ma’lum min al-din bi al-darurah). Adapun, dalam hal-hal yang memang tidak diketahui secara pasti dalam agama, maka, terdapat ruang terbuka untuk pe nafsiranpenafsiran terhadap ajaran Islam. Alam tidak hanya mencakup dunia, namun juga akhirat. Kehidupan duniawi bahkan harus selalu dikaitkan dengan cara yang sangat mendalam kepada ukh ra wi, yang memi liki signifikansi yang ter akhir dan final. Manusia dipandang se bagai makhluk yang memiliki spiritualitas dan moral. Per juangan politik Islam adalah untuk mengangkat harkat dan mar tabat manusia, yang memiliki dimensi spiritual dan moral, mendorong ke arah ke salehan individu dan masyarakat. Po litik Islam akan membebaskan manusia da ri penghambaan kepada materialisme, pragmatisme, spekulasi-spekulasi akal, sekularisme, dan ketidakpastian sistem nilai, menuju kepada integritas, kebaikan, moralitas, spiritualitas dan keyakinan akan kebenaran.

Memang tidak dinafikan, partai yang berbasis Islam atau orang-orang yang memperjuangkan politik Islam, belum memi liki integritas. Dampaknya, muncul kesan politisasi agama. Namun, tidaklah tepat untuk menyimpulkan bahwa politik Islam adalah politisasi agama. Sebabnya, tindakan oknum-oknum bukanlah referensi bagi ajaran Islam. Sama halnya, kaum Muslimin yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, maka kesalahan tersebut tidak dapat dialamatkan kepada ajar an Islam itu sendiri. Jadi, politik Islam bu kanlah politisasi agama tetapi justru memasukkan nilai-nilai ajaran Islam yang penuh dengan nilai moral, spiritual dan intelektual ke dalam politik yang kini su dah tersekularkan.

Sebagai kesimpulan, agama lain memang tidak menjadikan agama sebagai da sar kepada politik. Oleh sebab itu, sekula risasi politik, yaitu penceraian agama dan politik merupakan sebuah keniscayaan bagi agama lain. Politik sekular dianggap sebagai pilihan terbaik karena bagi para penganut agama lain, tidak ada sistem lain yang dianggap sebagai pilihan yang lebih baik. Namun, dalam Islam, pen ceraian antara agama dan politik sung guh tidak tepat, karena Islam adalah aki dah, syariah dan sistem. Politik Islam ber sumber kepada Wahyu, dan itu memang tidak terdapat pada tradisi filsafat, bu daya, peradaban dan agama lain.

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=146&Itemid=26

KULIAH BERSAMA AMINA WADUD

20 Jun

Ditulis Oleh Henri Shalahuddin   

Pada 4 Juni 2009 lalu, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta menggelar kuliah umum Amina_Wadudbertema “Reading for Gender: Al-Ghazali and the Nature of the Person in Islamic Ethic” yang disajikan oleh Prof. Dr. Amina Wadud. Wadud adalah tokoh feminis liberal radikal dan paling kontroversial sepanjang 14 abad menyusul ulahnya mengimami shalat Jumat di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street, New York pada tahun 2005 lalu. Selanjutnya pada 17/10/08, Wadud kembali menjadi imam dan khatib Jumat di Oxford Centre, Oxford dengan makmum laki-laki dan perempuan bercampur-baur. Shalat Jumat ini adalah aksi pembukaan sebelum memulai Konferensi Islam dan Feminisme yang digelar di Wolfson College, Oxford
Acara kuliah umum Wadud di UIN ini akhirnya harus molor hingga hampir satu jam, karena menunggu kehadiran peserta. Hal ini bisa jadi karena tidak dicantumkan nama pemateri dalam iklan baliho yang dipampang di pelataran UIN. Meskipun begitu, acara ini tetap berjalan menarik, terlebih Wadud tampil dengan retorika yang cukup memikat.

Kuliah Gender
IH-Iqb1Di awal presentasinya, Wadud mengatakan bahwa presentasinya difokuskan pada masalah gender. Sebab, dalam tradisi pemikiran Islam, konsep etika tidak didasarkan pada kesetaraan relasi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Particularly I will be reading for gender because when you look at the ethical tradition in Islam, this ethical tradition was not base on equality between woman and man, katanya menyakinkan.
Kritiknya terhadap konsep etika dalam tradisi pemikiran Islam ditekankan pada sosok Imam al-Ghazali (w.1111), khususnya terhadap karyanya yang paling fenomenal, kitab Ihya ‘Ulumiddin, bab Nikah. Menurut Wadud, al-Ghazali adalah tokoh besar yang sangat cerdas dan kritis dalam segala disiplin ilmu. Namun demikian, al-Ghazali kehilangan kecerdasan dan nalar kritisnya saat membahas masalah yang berkenaan dengan relasi gender.
Di samping itu, Imam al-Ghazali didakwa telah mendefinisikan bahwa yang disebut manusia adalah mereka yang memiliki 7 lobang (orifices). Sementara definisi ini hanya dimiliki laki-laki, sedangkan perempuan memiliki 8 lobang. Pada area privat, laki-laki mempunyai 2 lobang, sedangkan perempuan mempunyai 3 lobang. Maka secara otomatis perempuan tidak dikategorikan sebagai manusia yang sempurna. Bagi Wadud, definisi tentang manusia seperti itu adalah pengaruh pemikiran Mano (Manichaean, al-Manawiyah), Yunani dan Romawi. Lalu Imam al-Ghazali mengadopsinya kedalam pemikiran Islam. Namun sayangnya, Wadud tidak pernah menyertakan bagian teks asli karya Imam al-Ghazali yang bisa memperkuat kebenaran dakwaannya.

Tauhid Berwawasan Gender
Pemikiran Islam yang dikembangkan Imam al-Ghazali, menurut Wadud bukan saja tidak manusiawi tapi berlawanan dengan prinsip tauhid dan kesetaraan dalam al-Qur’an. Laki-laki dan perempuan adalah setara di depan Allah. Perbedaan di antara mereka hanya ditentukan oleh takwa.
Kata tauhid yang berakar dari “wahhada”, bermakna aktif. Menurut Wadud, ini berarti bahwa Allah mempersatukan segala sesuatu dalam alam semesta. Jadi yang aktif adalah Allah bukan makhluk. Allah-lah yang mempersatukan dunia empiris dan gaib, laki-laki dan perempuan, dst. Dengan begitu Allah-lah yang bertauhid dan mentauhidkan Diri-Nya sendiri. Makna tauhid seperti ini berbeda dengan apa sudah jamak diajarkan oleh para ulama yang bermartabat, di mana segala aktivitas makhluk harus bermuara pengabdian kepada Sang Khalik.
Lebih lanjut Wadud menjelaskan bahwa tauhid juga berarti perpaduan antara tanzih (pemurnian) dan tasybih (anthropomorphize) atau penyerupaan. Tasybih berarti jamal (indah), sebab manusia serupa dengan Allah. Bagi Wadud, hal ini berkaitan erat dengan etika personal dalam diri manusia, sehingga akan memunculkan sikap toleran dan saling menghargai.
Menariknya, dengan penuh percaya diri Wadud berkali-kali membacakan ayat yang dijadikannya sandaran dalil, meskipun selalu keliru baik dari sisi hafalannya maupun gramatikanya. Man ‘amila ‘aamilun shalihun min dzakarin au untsa wahuwa mu’minun ulaika yadkhulunal jannah, ucapnya.
Walau begitu, di penghujung presentasinya Wadud mengunci pendapatnya dengan alasan kemanusiaan. “Anda boleh tidak setuju, boleh tidak suka, tapi anda tidak boleh menganggap bahwa orang lain kurang kemanusiaannya dibanding anda. Jika anda percaya Allah dan bertauhid! Sebab meskipun mereka semua berbeda, mereka semua berasal dari Realitas Tunggal, Allah. Maka, baik Muslim atau non Muslim, laki-laki atau perempuan, homoseksual atau non homoseksual adalah sama. Anda boleh tidak setuju, tapi mereka semua adalah manusia yang setara!”, paparnya di depan para peserta. (You don’t have to agree, you don’t even have to like, but you cannot define or consider the other as less human than youself, if you belieft in Allah and if you belieft in tauhid. Because even if they are all different, they are held together by the same Reality of Allah oneness. And so therefore moslem or not moslem that is too equal, male-female, masculine-feminine, man-woman, homosexual – non homosexual, you may not agree but they are equally human!)
Ketika ditanya oleh peserta tentang pandangan seorang feminis yang mengatakan bahwa Allah hanya melihat takwa bukan orientasi seksual seseorang, dan bahwa puncak kesetaraan tertinggi dalam feminisme adalah lesbianisme. Sebab dalam lesbian, perempuan tidak perlu lagi bergantung pada laki-laki. Wadud menjawab bahwa Islam menuntut iman dan amal saleh. Tetapi tidak bisa dikatakan bahwa pelaku lesbian itu baik atau buruk, salah atau benar apalagi kurang kemanusiaannya. Di sinilah sejatinya inti pandangan “kesetaraan” kaum liberal yang mengaburkan batasan antara yang hak dan yang batil dengan alasan kemanusiaan.
Ketika dikonfirmasi argumentasinya menjadi imam bagi jama’ah laki-laki oleh peserta lainnya, dia menjawab bahwa tidak ada satupun ayat maupun hadits yang melarang perempuan menjadi imam. Pendapat seperti ini bukan saja keliru karena banyaknya hadits yang melarang perempuan mengimami laki-laki, tapi juga memalsukan kaedah yang ada, al-ashlu fil ‘ibadah haram. Asal usul ibadah itu haram hingga ada nas yang memerintahkannya. Karena ibadah bukanlah inovasi dari manusia yang menyesuaikan selera zaman, tempat maupun kepentingan.
Kuliah umum yang dipaparkan Amina Wadud di UIN Jakarta patut disesalkan. Bagaimana sebuah universitas Islam yang menjadi aset terbesar umat di negeri ini, memberi ruang bagi tokoh-tokoh liberal radikal semacam Wadud untuk menyebarkan idenya tanpa pembanding. Tindakan ini bukan saja keliru secara akademis, tapi juga penyimpangan terhadap amanah umat. Apalagi dalam kata sambutannya, wakil Dekan Fakultas Ushuluddin mengharap kunjungan pertama Wadud di UIN ini bisa berlanjut di masa mendatang. Di samping itu, beliau juga menginformasikan pada Wadud bahwa pada saat itu, tengah berlangsung diskusi yang diadakan oleh fakultas yang membahas tentang Islam Liberal dan Pernikahan lintas agama, karena topik ini sangat menarik dan menjadi perdebatan antara kalangan sarjana dan ulama.

Penutup
UIN adalah lembaga akademis yang fokus pada pengembangan tradisi pemikiran dan peradaban Islam berdasarkan prosedur ilmiah. Seharusnya pemegang kebijakan di lembaga ini lebih peka terhadap isu-isu tentang konsep ilmu dalam Islam daripada menyibukkan diri bermanuver untuk kepentingan sesaat. Kuliah Wadud merupakan tragedi keilmuan yang diakibatkan oleh para akademisi yang politisi.
Hujjah al-Islam Imam al-Ghazali adalah ulama multi disiplin ilmu. Beliau bukanlah sosok yang ma’sum. Pembahasan Imam al-Ghazali dalam bab Nikah, tidak difokuskan untuk mendiskriminasikan perempuan, apalagi memandangnya bukan manusia. Pandangan yang diskriminatif tentang perempuan ini sebenarnya bisa dilacak dalam pemikiran Barat Kristen semisal Tertullian (150M), St John Chrysostom (345M-407M), Thomas Aquinas dan lainnya. Bahkan dalam “The New Oxford Dictionary of English” sikap rasional hanya dinisbahkan pada kaum laki-laki: She’s not being very rational; Man is a rational being. Sementara Imam al-Ghazali dalam bab nikah mengkritisi stabilitas kekuatan rasio laki-laki. Beliau menukil perkataan Fayadh bin Najih: “Jika kemaluan laki-laki berdiri, maka sirnalah dua pertiga akalnya”.
Anehnya, Wadud melemparkan pandangan yang diskriminatif ini pada sosok Imam al-Ghazali tanpa bukti. Walhasil inilah sejatinya wajah paham kesetaraan gender yang berawal dari ketertindasan, berjalan dengan kemarahan dan berujung pada kebencian laki-laki. Wallah a’lam wa ahkam bi l-shawab

http://insistnet.com/index.php?option=com_content&task=view&id=147&Itemid=26

Tim Sukses SBY-Boediono Larung Sesaji di Sungai Brantas

9 Jun

KEDIRI, KOMPAS.com — Salah satu tim pemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, wilayah Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (2/5), menggelar acara larung sesaji di Sungai Brantas.

Acara diikuti oleh puluhan kader dan simpatisan Partai Demokrat serta anggota dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengklaim sebagai pendukung pasangan capres-cawapres dengan nomor urut dua tersebut.

Heri Tanadi, salah satu anggota tim pemenangan SBY-Boediono, mengatakan bahwa acara larung sesaji ini merupakan ritual untuk mendapatkan berkah dari Yang Maha Kuasa. Harapannya agar pasangan SBY-Boediono menang dalam pemilihan umum presiden 2009 nanti.

Adapun sesaji yang dilarung berupa bunga tujuh macam, dupa atau kemenyan, dan dua ekor bebek yang diberi poster gambar SBY dan Boediono. Kedua ekor bebek dimaksudkan untuk melambangkan nomor urut pasangan capres tersebut.

Sebelum dilakukan larung sesaji, mereka terlebih dahulu menggelar acara selamatan berupa doa bersama di bantaran Sungai Brantas di Kelurahan Semampir, Kota Kediri.

Selain mengharap berkah kemenangan, ritual larung sesaji juga dimaksudkan sebagai upacara membuang sial atau ketidakberuntungan. Alasannya, pada pemilu legislatif 2009 lalu, Partai Demokrat Kota Kediri kalah suara dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Partai Demokrat di Kota Kediri hanya mendapatkan tiga kursi dari 30 jatah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang diperebutkan. Perolehan kursi ini jauh di bawah perolehan kursi PDI-P yang mencapai 5 kursi.

Dari tiga kecamatan yang ada di Kota Kediri, yakni Kecamatan Kota Kediri, Kecamatan Mojoroto, dan Kecamatan Pesantren, caleg Partai Demokrat hanya mampu meraup perolehan suara rakyat, masing-masing untuk mendapatkan satu kursi.

Sementara itu, anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Kediri Umamul Khoir mengatakan, sampai dengan hari pertama pelaksanaan kampanye pilpres 2009, belum ada tim sukses pasangan calon yang mendaftarkan diri ke KPUD.

Pihaknya juga belum mendapatkan pemberitahuan dari masing-masing tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden mengenai rencana kegiatan kampanye terbuka yang akan mereka lakukan selama masa kampanye berlangsung. Adapun jadwal kampanye ketiga pasangan capres, Umam mengatakan bahwa pihaknya mengacu pada jadwal dari Komisi Pemilihan Umum Pusat. (Kompas online; Selasa, 2 Juni 2009 | 17:55 WIB)

http://hizbut-tahrir.or.id/2009/06/03/tim-sukses-sby-boediono-larung-sesaji-di-sungai-brantas/