Surat dari Gaza untuk Umat Islam di Indonesia

11 Jun

Kamis, 03 Jun 2010

Untuk saudaraku di Indonesia,

Saya tidak tahu, mengapa saya harus menulis dan mengirim surat ini untuk kalian di Indonesia, Namun jika kalian tetap bertanya kepadaku, kenapa? Mungkin satu-satunya jawaban yang saya miliki Adalah karena Negeri kalian berpenduduk muslim terbanyak di punggung bumi ini, bukan demikian saudaraku?

Disaat saya menunaikan ibadah haji beberapa tahun silam, ketika pulang dari melempar jumrah, saya sempat berkenalan dengan salah seorang aktivis da’wah dari Jama’ah haji asal Indonesia, dia mengatakan kepadaku, setiap tahun musim haji ada sekitar 205 ribu jama’ah haji berasal dari Indonesia datang ke Baitullah ini. Wah, sungguh jumlah angka yang sangat fantastis dan membuat saya berdecak kagum.

Lalu saya mengatakan kepadanya, saudaraku, jika jumlah jama’ah Haji asal GAZA sejak tahun 1987 Sampai sekarang digabung, itu belum bisa menyamai jumlah jama’ah haji dari negeri kalian dalam satu musim haji saja. Padahal jarak tempat kami ke Baitullah lebih dekat dibanding kalian yah?. wah, pasti uang kalian sangat banyak yah?, apalagi menurut sahabatku itu ada 5% dari rombongan tersebut yang menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya, Subhanallah.

Wahai saudaraku di Indonesia,
Pernah saya berkhayal dalam hati, kenapa saya dan kami yang ada di GAZA ini, tidak dilahirkan di negeri kalian saja. Wah, pasti sangat indah dan mengagumkan yah?. Negeri kalian aman, kaya dan subur, setidaknya itu yang saya ketahui Tentang negeri kalian.

Pasti para ibu-ibu disana amat mudah menyusui bayi-bayinya, susu formula bayi pasti dengan mudah kalian dapatkan di toko-toko dan para wanita hamil kalian mungkin dengan mudah bersalin di rumah sakit yang mereka inginkan.

Ini yang membuatku iri kepadamu saudaraku tidak seperti di negeri kami ini, saudaraku, anak-anak bayi kami lahir di tenda-tenda pengungsian. Bahkan tidak jarang tentara Israel menahan mobil ambulance yang akan mengantarkan istri kami Melahirkan di rumah sakit yang lebih lengkap alatnya di daerah Rafah, Sehingga istri-istri kami terpaksa melahirkan diatas mobil, yah diatas mobil saudaraku!.

Susu formula bayi adalah barang yang langka di GAZA sejak kami di blokade 2tahun lalu, namun isteri kami tetap menyusui bayi-bayinya dan menyapihnya hingga dua tahun lamanya, walau terkadang untuk memperlancar ASI mereka, isteri kami rela minum air rendaman gandum.

Namun, mengapa di negeri kalian, katanya tidak sedikit kasus pembuangan bayi yang tidak jelas siapa ayah dan ibunya, terkadang ditemukan mati di parit-parit, di selokan-selokan dan di tempat sampah, itu yang kami dapat dari informasi televisi.

Dan yang membuat saya terkejut dan merinding, ternyata negeri kalian adalah negeri yang tertinggi kasus Abortusnya untuk wilayah ASIA, Astaghfirullah. Ada apa dengan kalian? Apakah karena di negeri kalian tidak ada konflik bersenjata seperti kami disini, sehingga orang bisa melakukan hal hina tersebut?, sepertinya kalian belum menghargai arti sebuah nyawa bagi kami di sini.

Memang hampir setiap hari di GAZA sejak penyerangan Israel, kami menyaksikan bayi-bayi kami mati, Namun, bukanlah diselokan-selokan, atau got-got apalagi ditempat sampah? saudaraku! Mereka mati syahid, saudaraku! mati syahid, karena serangan roket tentara Israel!

Kami temukan mereka tak bernyawa lagi dipangkuan ibunya, di bawah puing-puing bangunan rumah kami yang hancur oleh serangan roket tentara Zionis Israel, Saudaraku, bagi kami nilai seorang bayi adalah Aset perjuangan perlawanan kami terhadap penjajah Yahudi. Mereka adalah mata rantai yang akan menyambung perjuangan kami memerdekakan Negeri ini.

Perlu kalian ketahui, sejak serangan Israel tanggal 27 desember (2009) kemarin, Saudara-saudara kami yang syahid sampai 1400 orang, 600 diantaranya adalah anak-anak kami, namun sejak penyerangan itu pula sampai hari ini, kami menyambut lahirnya 3000 bayi baru Dijalur Gaza, dan Subhanallah kebanyakan mereka adalah anak laki-laki dan banyak yang kembar, Allahu Akbar!

Wahai saudaraku di Indonesia,
Negeri kalian subur dan makmur, tanaman apa saja yang kalian tanam akan tumbuh dan berbuah, namun kenapa di negeri kalian masih ada bayi yang kekurangan gizi, menderita busung lapar. Apa karena kalian sulit mencari rezki disana? apa negeri kalian sedang di blokade juga?

Perlu kalian ketahui, saudaraku, tidak ada satupun bayi di Gaza yang menderita kekurangan gizi apalagi sampai mati kelaparan, walau sudah lama kami diblokade.

Kalian terlalu manja! Saya adalah pegawai Tata Usaha di kantor pemerintahan Hamas Sudah 7 bulan ini, gaji bulanan belum saya terima, tapi Allah SWT yang akan mencukupkan rezki untuk kami.

Perlu kalian ketahui pula, bulan ini saja ada sekitar 300 pasang pemuda baru saja melangsungkan pernikahan. Yah, mereka menikah di sela-sela serangan agresi Israel, Mereka mengucapkan akad nikah, diantara bunyi letupan bom dan peluru saudaraku.

Dan Perdana menteri kami, yaitu Ust Isma’il Haniya memberikan santunan awal pernikahan bagi semua keluarga baru tersebut.

Wahai Saudaraku di Indonesia,
Terkadang saya pun iri, seandainya saya bisa merasakan pengajian atau halaqoh pembinaan Di Negeri antum, seperti yang diceritakan teman saya tersebut, program pengajian kalian pasti bagus bukan, banyak kitab mungkin yang telah kalian baca, dan buku-buku pasti kalian telah lahap, kalian pun sangat bersemangat bukan, itu karena kalian punya waktu.

Kami tidak memiliki waktu yang banyak disini wahai saudaraku. Satu jam, yah satu jam itu adalah waktu yang dipatok untuk kami disini untuk halaqoh, setelah itu kami harus terjun langsung ke lapanagn jihad, sesuai dengan tugas yang Telah diberikan kepada kami.

Kami di sini sangat menanti-nantikan hari halaqoh tersebut walau cuma satu jam saudaraku, tentu kalian lebih bersyukur, kalian lebih punya waktu untuk menegakkan rukun-rukun halaqoh, Seperti ta’aruf, tafahum dan takaful di sana.

Hafalan antum pasti lebih banyak dari kami, Semua pegawai dan pejuang Hamas di sini wajib menghapal surat al anfaal sebagai nyanyian perang kami, saya menghapal di sela-sela waktu istirahat perang, bagaimana Dengan kalian?

Akhir desember kemarin, saya menghadiri acara wisuda penamatan hafalan 30 juz anakku yang pertama, ia diantara 1000 anak yang tahun ini menghapal al-qur’an, umurnya baru 10 tahun, saya yakin anak-anak kalian jauh lebih cepat menghapal al-quran ketimbang anak-anak kami disini, di Gaza tidak ada SDIT seperti di tempat kalian, yang menyebar seperti jamur sekarang.

Mereka belajar di antara puing-puing reruntuhan gedung yang hancur, yang tanahnya sudah diratakan, diatasnya diberi beberapa helai daun pohon kurma, yah di tempat itulah mereka belajar saudaraku, bunyi suara setoran hafalan al-quran mereka bergemuruh diantara bunyi-bunyi senapan tentara Israel? Ayat-ayat Jihad paling cepat mereka hafal, karena memang didepan mereka tafsirnya. Langsung Mereka rasakan.

Wahai Saudaraku di Indonesia,
Oh, iya, kami harus berterima kasih kepada kalian semua, melihat aksi solidaritas yang kalian perlihatkan kepada masyarakat dunia, kami menyaksikan demo-demo kalian disini. Subhanallah, kami sangat terhibur, karena kalian juga merasakan apa yang kami rasakan disini.

Memang banyak masyarakat dunia yang menangisi kami di sini, termasuk kalian di Indonesia. Namun, bukan tangisan kalian yang kami butuhkan saudaraku biarlah butiran air matamu adalah catatan bukti nanti di akhirat yang dicatat Allah sebagai bukti ukhuwah kalian kepada kami. Doa-doa kalian dan dana kalian telah kami rasakan manfaatnya.

Oh, iya hari semakin larut, sebentar lagi adalah giliran saya Untuk menjaga kantor, tugasku untuk menunggu jika ada telepon dan fax yang masuk Insya Allah, nanti saya ingin sambung dengan surat yang lain lagi Salam untuk semua pejuang-pejuang islam di Indonesia.

Akhhuka…..Abdullah ( GazaCity ..1430 H)

Surat Terakhir Santi Sebelum Diserbu Israel, Sangat Menyentuh

11 Jun

Senin, 31 May 2010

Santi Soekanto adalah salah satu dari 12 WNI di kapal Mavi Marmara yang diserbu Israel. Sebelum penyerbuan itu, Santi sempat mengirimkan surat elektronik yang sangat menyentuh.

Surat jurnalis Majalah Hidayatullah ini bertajuk "Gaza Tidak Membutuhkanmu!" yang dikirim pada Minggu 30 Mei 2010, atau sehari sebelum serangan Israel. Surat ini dibuat di atas kapal Mavi Marmara saat masih berada di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Saat itu, Santi dan anggota tim Freedom Flotilla lain tengah menunggu kedatangan tim lain untuk nanti sama-sama berangkat ke Gaza. Namun kabar akan serangan Israel sudah beredar.

"Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran," kata Santi dalam pembukaan suratnya.

Santi berbagi pengalamannya bertemu dengan ratusan orang dengan berbagai latar belakang. Masing-masing dengan gayanya sendiri. Ada anak buah politisi Inggris yang petantang-petenteng, sampai aktivis perempuan muslimah yang pendiam, namun cekatan untuk memastikan semua rombongan bisa makan tepat waktu. Berikut adalah surat lengkap Santi untuk temannya Tommy Satryatomo yang kemudian dipasang di blognya:

: : : : : :

GAZA TIDAK MEMBUTUHKANMU!

Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu –banyak di antara kami yang membaca Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis –terutama veteran perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya– mondar-mandir; ada yang petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia "tangan kanan" seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi ke Gaza.

Activism

Ada begitu banyak activism, heroism. Bahkan ada seorang peserta kafilah yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan "Heroes of Islam" alias "Para Pahlawan Islam." Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta’ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan powerful karena mendapat perlakuan khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya akan menyelusup, na’udzubillahi min dzaalik, dan semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi sumber amarah Allah Ta’ala.

Mengerem

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi? Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada Allah dari ketidakikhlasan dan riya? Kau pernah berada dalam situasi ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena posisimu di sebuah penerbitan? And where did that lead you? Had that situation led you to Allah, to Allah’s blessing and pleasure, or had all those times brought you Allah’s anger and displeasure?

…Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini…

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi dunia di sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada waktunya. Dari para ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok sejumlah perokok ndableg.

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, Subhanallah, di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena ketenaran mereka.

Semua berteriak, "Untuk Gaza!" namun siapakah di antara mereka yang teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.

Gaza Tak Butuh Aku

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau, sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

…Gaza tidak membutuhkan aku. Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds….

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar hamba-hambaNya yang bergerak -betapa pun sedikitnya- menolong agamaNya. Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, Bir ruh, bid dam, nafdika ya Aqsha. Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan hati.

Cara Allah Mengingatkan

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku.

…Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara terbaik untuk mengingatkan aku…

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya – karena tak mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan mampheeeeet karena ada dua potongan kuning coklaaat menyumbat lubangnya! Apa yang harus kulakukan? Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau kulakukan itu, alangkah tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu mereka yang fii sabilillah akan dihitung sebagai amal fii sabilillah, maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu ndableg bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan kuisi dengan air sebanyak mungkin –sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air– lalu kusiramkan ke toilet.
Masih ndableg.
Kucoba lagi menyiram.
Masih ndableg.
Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri.
Kubungkus tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol flush. Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan kiriku ke lubang toilet.
Blus!
Si kotoran ndableg itu pun hilang disedot pipa entah kemana.

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

…sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi…

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi -agar aku berendah-hati, agar aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran ndableg tadi.

Allahumaj’alni minat tawwabiin

Allahumaj’alni minal mutatahirin

Allahumaj’alni min ibadikassalihin

29 Mei 2010, 22:20

Santi Soekanto

Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to Gaza Mei 2010.

1000 Israeli websites hacked since Flotilla attack

11 Jun

Saturday, 05 June 2010 11:42 Added by PT Editor maysaa jarour

June 5, 2010 (Pal Telegraph) – Thze Israeli radio reported today that hackers hacked 1000 Israeli websites since the Israeli attack of Freedom Flotilla on last Monday.

As soon as the Israeli armed navy attacked Marmara, hackers started hacking Israeli websites, the Israeli radio reported.

It pointed out that 54 Israeli commercial, art and media websites were hacked at the first day of the attack by 19 hackers who put Palestinian and Turkish flags and solidity statements with Gaza.

The number of the hacked websites is increasing as the indicators say that the number of the hacked websites is 1000 since the Israeli raid on Freedom Flotilla.

http://www.paltelegraph.com/latest/6288-1000-israeli-websites-hacked-since-flotilla-attack

Swiss vessel to join “Fleet of Freedom 2”

11 Jun

Wednesday, 09 June 2010 14:01 Added by PT Editor Omar Ghraieb

0diggsdigg

Switzerland, June 9, (Pal Telegraph) The European campaign to End the Siege on Gaza announced that preparations are being conducted on a Swiss vessel to participate in the "fleet of Freedom 2," which is being prepared by the "fleet of freedom" coalition, and expected to launch into the Gaza Strip in the up-coming weeks.

Anwar Al Gharbi, representative of the campaign in Switzerland, said that at the end of a global daily sit-ins week before the Human Rights Plaza at United Nations Headquarters in Geneva, called by the association of "rights for all" and the "European Campaign" – with the participation of more than twenty Swiss Assemblies and political parties; including "Centre Party", "Party of the Public", "The Socialist Party," "Greens Party", and "Labour Party" for this initiative – where the beginning of preparing the Swiss vessel to join the “fleet of Freedom 2” was announced.

Gharbi added in a press statement today that "following the announcement of launching the process of equipping the Swiss vessel , a major fund raising campaign was launched too; where the vessel was showered with the support of dozens of political, artistic and athletic figures from Switzerland.

The head of the “rights for all” Swiss association, and the member of the European campaign, explained that this ship has big support from prominent figures in Europe, pointing out that the campaign is witnessing wide contributions, especially after the Zionist massacre committed against the "fleet of freedom," which was sailing towards the Gaza Strip with 750 international peace activists on board, along with about ten thousand tons of humanitarian aid.

Gharbi saw that the " Israeli massacre", which was committed against the peace activists on board of the "fleet of freedom," formed a great stimulus to the free world in order to support more campaigns aimed at breaking the siege imposed on the Gaza Strip.

http://www.paltelegraph.com/newsflash/6346-swiss-vessel-to-join-fleet-of-freedom-2

Dua Batang Magasin Uzi di Tanganku

11 Jun

Friday, 11 June 2010 05:44

Dua benda yang kini berada di genggamanku, dua batang magasin Uzi. Kulihat lebih cermat, ini adalah peluru-peluru tajamnya milik tentara Israel

oleh: Dzikrullah W Pramudya

Hidayatullah.com–SEKITAR jam 11 malam, Ahad, 30 Mei, saya melihat ada dua lampu kapal misterius membayangi 6 kapal misi kemanusiaan Freedom Flotilla yang menuju Gaza yang sedang diembargo Israel dan Amerika Serikat. Konvoi ini membawa sekitar 10 ribu ton bantuan kemanusiaan dan sekitar 600 orang relawan, terdiri dari anggota parlemen dari 12 negara Asia dan Eropa, dokter-dokter, wartawan, dan aktivis kemanusiaan dari lebih 50 negara.

Hanya lampunya saja yang terlihat dari kedua kapal misterius tadi, bentuknya sama sekali tidak terlihat. Laut gelap dan berkabut. Kedua kapal itu seperti sengaja menghindari cahaya bulan yang baru saja selesai purnama di sebelah kiri haluan Mavi Marmara, kapal utama konvoi itu.

Yasmin, kawanku relawan asal Macedonia, berusaha memperjelas pandangannya dengan binokular di atas teras dek 4. "Itu kapal-kapal Israel," gumamnya. Bahkan di saat ancaman Israel sudah senyata itu, ditambah berbagai ancamannya selama seminggu terakhir ini, saya masih berusaha percaya Israel hanya akan menghadang dan memeriksa kami. Lalu terjadi negosiasi. Lalu kami harus berkompromi, mungkin hanya sebagian kapal yang boleh masuk Gaza, mungkin waktunya dibatasi. Tidak terbayang mereka akan membajak dan membantai kami di perairan internasional, yang kemudian berdarah-darah itu.

Rupanya saya terlalu naif. Pagi harinya, tentara komando Israel bahkan sengaja menyerang kami saat sedang melaksanakan solat subuh berjamaah di teras dek 4 buritan kapal. Jam 4.15, solat itu bubar sebelum seorangpun sempat berdoa.

Rentetan senjata otomatis atau semi-otomatis bersahutan mencari mangsa. Lama-kelamaan, dari suaranya saat menabrak dinding kapal Anda bisa membedakan, mana yang peluru karet mana yang metal. Tadinya saya masih mondar mandir mengambil sebanyak mungkin gambar dengan kamera. Sesudah menyadari ada laser pointers yang bergerak mencari sasaran di dinding kapal, nyali saya jadi agak ciut. Granat suara dan gas air mata sudah berdentum-dentum.

Bintang David

Tiba-tiba gemuruh suara helikopter dan angin kencang bertiup dari atas. Mesin pembunuh itu sebesar kepala truk trailer, berwarna cokelat muda dan hijau tua. Ada logo bintang david hitam di lambungnya. Di kanan kirinya nampak jelas helikopter itu menenteng sepasang rudal, mungkin masing-masing berukuran lebih dari 100 kg. Rudal yang disiapkan melawan para relawan kemanusiaan.

Seutas tali hitam nampak diturunkan, satu dua orang tentara komando meluncur ke atap Mavi Marmara di dek 6. Keberanian saya muncul lagi. Saya segera menaiki tangga. Rentetan tembakan terdengar lagi. Saya merunduk. Saya bergerak lagi bersama beberapa orang di depan saya. Rentetan tembakan mendekat lagi.

Beberapa orang nampak saling pukul dan saling mendorong di pinggir atap kapal. Sampai satu ketika seorang tentara komando Israel berhasil diringkus dan dilucuti, lalu diseret ke dek 5. Karena di depan saya banyak orang, saya memutuskan turun dan masuk ke kabin untuk mendekati tentara yang tertangkap itu dari dalam, melalui lobi di depan press room.

Di lobi sempit itu saya dapati seorang relawan sudah terkapar berdarah-darah. Usianya mendekati 50 tahun. Beberapa perawat berusaha menolongnya. Saya memotretnya beberapa kali. Dalam waktu beberapa detik, dua korban lain yang juga berdarah-darah masuk. Di lantai atas, di dek 5 bagian dalam, terdengar suara sangat gaduh. Mungkin tentara tadi sedang dipukuli. Saya mengabaikan, karena harus berlari ke press room untuk mengirim foto korban pertama yang saya lihat itu lewat e-mail, sebelum internet terputus. Kekhawatiran saya benar. Jaringan internet sudah diputus.

Senyum

Saya kemudian saling berpandangan dengan Santi, yang selama hampir 11 tahun ini menjadi istri dan sahabat terbaik saya, kami saling bersalaman, berpelukan, dan saling minta maaf. Di wajahnya sama sekali tidak ada tanda-tanda cemas, malah tersenyum. Senyumnya damai sekali, saya sempat berpikir, "Jangan-jangan dia akan syahidah duluan meninggalkan saya."

Kami lalu bersepakat untuk selalu berdekatan dan menyepakati titik pertemuan jika terpisah, serta menyiapkan rencana menyembunyikan semua jenis rekaman, baik itu memory card maupun film-film video dari teman-teman jurnalis TV Indonesia. Kelak semuanya dirampas tentara Israel tak bersisa.

Sejak itu saya menjalankan rutin gerak cepat: bergerak keluar, mengambil gambar-gambar, lalu masuk lagi berteriak-teriak mencari Santi jika dia tak nampak di titik yang kami sepakati. Sesudah bertemu, bergerak lagi keluar. Begitu seterusnya. Suasana sudah begitu kalang kabut dan mencekam.

Tentara Israel Tertangkap

Saya naik ke atas untuk menyaksikan tentara Israel yang tertangkap. Terdengar suara teriakan, "Jangan pukul! Jangan pukul!" Kulihat sekilas Adam, wartawan yang juga aktivis IHH (organisasi kemanusiaan terbesar di Turki yang mengkordinasi konvoi ini), berkaus hijau gelap, berusaha sekuat tenaga menghentikan aktivis lain yang memukuli kedua tentara itu. Suara teriakan lain tak kalah kerasnya, "Bunuh! Bunuh! Bunuh mereka!"

Langkahku terhalang beberapa orang di ujung atas tangga. Tiba-tiba seorang laki-laki berjenggot setengah baya dari arah atas menyodorkan dua batang logam ke hadapanku. Secara reflek saya menyambutnya. Namun saya langsung tercenung menyadari dua benda yang kini berada di genggamanku, dua batang magasin Uzi. Kulihat lebih cermat, peluru-peluru tajamnya masih penuh. Saya tak habis pikir, kenapa pria itu menyerahkan kepadaku.

Dua Magasin

Segera saya turun dan mencari-cari aktivis IHH yang saya kenal. Sebenarnya saya mencari Cihad Gokdemir, sahabatku pengacara IHH, dengan harapan kelak kedua benda itu bisa jadi barang bukti kejahatan Israel. Tapi akhirnya saya memilih seorang pria berkumis yang selalu ramah bercakap-cakap denganku sebelum penyerangan. Dia sedang menolong seorang korban. Saya tak tahu apa jabatannya, dia seorang pengurus IHH, kuserahkan kepadanya. Lalu dia menghilang.

Belakangan setelah kapal berhasil dikuasai tentara komando Israel, aku melaporkan kepada salah seorang petinggi IHH yang kukenal baik, perihal kedua benda itu. Dia minta dipertemukan dengan orang yang tadi kutitipi. Setelah berhasil menemukannya, keduanya bercakap-cakap, lalu petinggi IHH itu menepuk pundakku dan menenangkan, "OK, everything is fine. They’re safe."

Dari teras dek 4 itu sebelah kanan, beberapa orang berusaha menyemprot speedboat komando Israel yang mendekat dengan air pemadam api. Air tidak keluar kecuali sebentar, melemah lalu berhenti. Terdengar keluhan frustrasi. Saya jadi ingat, malam tadi memang ada orang yang berusaha memperbaiki selang-selang itu. Tapi saya lihat semprotan airnya lemah. Tidak cukup untuk menghalau speedboat tentara komando.

Gagal menggunakan semprotan, mereka yang berdiri di pagar kapal segera melemparkan apa saja yang ada di dekatnya ke arah speedboat Israel. Botol, buah, kursi, sampah, tong sampah, apa saja yang bisa diraih. Mereka melakukannya sambir bertakbir,
"Allahu Akbar! Allahu Akbar…!"

Terakhir kali aku masuk kembali ke kabin di dek 3, lobi di depan ruang informasi itu sudah seperti ruang gawat darurat di rumah sakit, hanya saja sangat berantakan. Darah berceceran di sana. Korban mendesis-desis dan menyebut nama Allah, menahan sakit dari luka-luka tembak dan tulang yang patah. Tiga orang sedang sekarat, dibantu pernafasan dan pompa jantungnya.

Teman Indonesia Tertembak

Seseorang memekik ke arahku, memberi tahu dua kawan Indonesia kena tembak. Alhamdulillah keduanya sedang ditolong dokter-dokter. Okvianto patah tangan kanannya dihajar peluru. Kata dr Arief, relawan MER-C, tulangnya sampai terlihat, "Alhamdulillah urat nadinya tidak putus." Mukanya agak pucat, tapi terlihat tenang dan bisa tersenyum. Setelah memberinya minum dan menemaninya sebentar, aku berkeliling menghitung korban lain. Ada lebih dari 35 orang dengan berbagai jenis luka.

Surya tergeletak lemah di dekat tangga lobi dek 3. Mukanya pucat seperti seprei. Nafasnya terengah-engah, tapi seseorang segera memasangkan masker oksigen di mukanya. Seorang dokter India memintaku membantunya menggunting semua pakaian Surya. Ada satu titik lubang peluru di dadanya, tapi belum di temukan di mana keluarnya. Berarti peluru itu masih di tubuhnya. Dokter Ruba’i dari Malaysia berusaha memasang infus di lengan Surya. Ada Abdillah dari MER-C dan terlalu banyak orang yang mengerumuni Surya. Udara pengap. Saya mundur.

Saya baru sadar, mana kawan Indonesia dan Malaysia yang lain? Sejak di Antalya, kami bersepakat untuk menjadi satu delegasi Indonesia-Malaysia. Ada 12 relawan Indonesia, 11 Malaysia. Sejak berlayar kami selalu bersama. Tidur, makan, solat, membaca Al-Quran, mengundang ulama untuk memberi nasihat, berdiskusi, selalu bersama.

Sejak dua malam sebelum penyerangan, semua lelaki dari kedua negara ini, kecuali dokter dan wartawan, mendapatkan tugas berjaga di haluan kiri kapal. Semuanya berpelampung. Dini hari tadi sehabis solat tahajjud, saya dan Santi sempat berkeliling dan mengunjungi mereka di tempat mereka berjaga-jaga. Tapi pagi setelah penyerangan itu 3 orang Indonesia, dan 7 dari Malaysia tak berhasil saya temukan. Saya mulai khawatir. Terdengar pengumuman kapal dan anjungan kapten sudah dikuasai tentara komando Israel.

Huseyin Oruc, Wakil Presiden IHH, yang kulapori tentang mereka berusaha menenangkan saya. "Di atas ada puluhan relawan yang sudah ditangkap tentara Israel. Mereka baik-baik saja insya Allah," katanya. Saya mengerti, tapi masih risau. Lalu mendoakan mereka, minta kepada Allah, kalau masih hidup agar dilindungi secara sempurna. Bila sudah mati agar diterima syahidnya.

Para Syuhada

Saya duduk lama di depan 4 jenazah relawan Turki yang dibungkus selimut, bendera Palestina dan bendera laa ilaaha illallah. Salah satunya berkenalan dan bersahabat dengan saya beberapa hari sebelumnya. Jaudat, lelaki Turki 30 tahunan, murah senyum dan selalu siap menolong. Ia penanggung jawab teknis press room. Di antara kedua matanya ada lubang hitam sebesar diameter pensil. Itulah lubang masuk peluru yang menembus otaknya. Bagian bawah kepalanya masih meneteskan darah. Kata seseorang dia ditembak saat memotret tentara yang turun dari helikopter.

Tak lama kemudian Mavi Marmara betul-betul dikuasai tentara Israel. Kami semua digeledah, diborgol, dijemur di bawah matahari, dipaksa duduk, dibentak-bentak, dilarang solat berdiri, ada yang dilarang ke toilet, sebagian kencing di botol-botol plastik, ada yang ditendang dan dipukul. Sesampainya di pelabuhan Ashdod diperiksa kesehatan lalu diinterogasi.

Gaza di Mavi Marmara

Dokternya memeriksa keadaan fisik dan kesehatan saya. Saya bertanya, "Kenapa ya Anda semua bekerja keras memeriksa kesehatan kami, padahal baru saja kalian membunuhi teman-teman kami?" Dokter dan perawat itu sempat tercenung, tapi lalu meneruskan kesibukannya menulis.

Di meja lain, saya dipaksa menandatangan dokumen pengakuan bahwa kami memasuki Israel secara ilegal. Saya menolak. Dalam hati saya menahan tawa. Sebuah humor hitam. Israel sendiri ilegal, didirikan di atas tanah Palestina yang dirampas dengan cara teror dan tipu muslihat selama 63 tahun. Sekarang mereka menuduh kami, yang sedang berlayar di perairan internasional, yang mereka culik dan paksa masuk ke pelabuhan mereka, sebagai pendatang ilegal.

Saat diborgol dan dijemur di teras kapal di bawah matahari, saya merenung, kita semua berniat pergi ke Gaza untuk membantu rakyat Gaza. Nah, sekarang Allah hadirkan ‘Gaza’ ke kapal kita, karena apa yang kita alami dalam beberapa puluh jam ini adalah yang dialami rakyat Gaza selama 3 tahun lebih diembargo, dan 63 tahun lebih dijajah Israel.* []

* Dzikrullah W Pramudya, contributing editor The Brunei Times, juga Senior Editor Majalah Hidayatullah dan hidayatullah.com, bergabung dengan misi kemanusiaan Freedom Flotilla juga atas nama Sahabat Al-Aqsha, sebuah jaringan keluarga dan lembaga pendidikan yang mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina

Ilustrasi: Jenis mini Uzi yang dibawa pasukan komando Israel yang menyerang Mavi Marmara foto Leviathan 666

http://hidayatullah.com/cermin-a-features/f/12122-dua-batang-magasin-uzi-di-tanganku

Sejumlah Mata-mata Zionis Bertaubat

10 Jun

Thursday, 10 June 2010 12:33

Cara Hamas berantas jaringan mata-mata memperoleh pujian dari Ikatan Ulama Palestina

Hidayatullah.com–Kementerian Dalam Negeri Palestina di Gaza, yang berada di bawah pemerintahan Hamas mengumumkan, pada hari Rabu (9/6) sejumlah mata-mata Palestina yang bekerja untuk kepentingan Zionis menyatakan taubat mereka.

Sebagaimana dilansir oleh Al Islam Al Yaum (10/6), Ihab Al Ghasyin, Jubir Kementerian Dalam Negeri menjelaskan dalam jumpa pers, sejumlah mata-mata telah menyatakan taubat mereka secara suka rela. Namun, saat ditanya mengenai jumlahnya, Ihab menolak berkomentar.

Sejak awal bulan ini Hamas memang memberi tenggang waktu pada para mata-mata agar menyerahkan diri dan bertaubat. Pihak Hamas sendiri menyatakan telah memiliki data mengenai siapa saja yang bekerja untuk kepentingan Zionis Israel di Gaza.

Ihab sendiri menyatakan bahwa saat ini masih ada waktu para mata-mata menyerahkan diri. Namun, jika hal itu tidak mereka lakukan, para pelaku akan ditangkap dan dijatuhi hukuman yang sesuai.

Cara Hamas dalam memberantas jaringan mata-mata dengan cara memberi kesempatan bagi para pelakunya untuk bertaubat ini memperoleh pujian dari Ikatan Ulama Palestina, beberapa waktu lalu. [tho/aly/hidayatullah.com]

Keterangan foto: Seorang anak berada di depan zz Al-Din Al Qassam yang sedang berlatih.(AP Photo)

http://hidayatullah.com/berita/internasional/12111-sejumlah-mata-mata-zionis-bertaubat

Helen Thomas Deserves Praise

10 Jun

08. Jun, 2010 1 Comment

X

Hello there! If you are new here, you might want to subscribe to the RSS feed for updates on this topic.

Powered by WP Greet Box WordPress Plugin

38Share

by Paul Findley

Fearless, decent seeker-of-truth Helen Thomas, 89, the preeminent challenger of political power for a half-century as dean of White House correspondents, has resigned her position with Hearts Newspapers. She acted in the wake of controversy that erupted when she told reporters “Jews should get the hell out of Palestine.” While speaking plainly on behalf of the rule of law in Occupied Palestine, her message was submerged when reporters gave it an anti-Semitic twist by quoting words out of context.

It is a sad finale to an unprecedented career in aggressive, constructive journalism. In her departure from the White House newsroom, America is the loser. The Washington press corps contains few with Thomas’ talent in challenging power close-up.

The fiascos start when Thomas made an extemporaneous burst of passion at a White House briefing in late May. She declared, “Jews should get the hell out of Palestine.” When asked where they should go, Thomas said they should “go home to Poland, Germany, America and everywhere else.” Her intent was unmistakable: Jews are unlawfully residing in Occupied Palestine and should leave. She made no reference to Jews in pre-1967 Israel, where all Jews can lawfully reside.

Out-of-context reports on her comments stirred angry controversy. Several commentators failed to report the words “America and everywhere else.” This left Thomas’ quoted words suggesting only Poland and German, countries identified with extermination camps for Jews in World War II, as the only destinations for those Thom would expel. The warped reports led Diane Nine, her longtime literary agent and friend, to cut ties. She was uninvited after agreeing to be commencement speaker at a Washington, D.C. high school, and was falsely smeared as a bigot and anti-Semite by leaders of Jewish organizations. Time columnist Joe Klein wanted her moved from her traditional front row seat to the back at future White House news briefings. Former White House press secretary Ari Fleischer, who served President George W. Bush ,! ! told reporters she should be fired by employer Hearst Newspapers or at least lose her White House credentials.

Attempts to link Thomas’ outburst to Nazi crematories are contemptible. In denouncing Thomas, Klein and others mention only Poland and Germany as places Thomas wants Jews now in Palestine to go. If they included “America and everywhere else,” as Thomas actually stated, the attempted linkage of past Holocaust crematories would be blurred if not lost.

True to her reputation, Thomas spoke up for human rights, the fundamental property rights of Palestinians that are violated at an ever-rising pace in Occupied Palestine by the government of Israel, with no serious opposition from the United States, Israel’s main benefactor. Thanks to an intimidated U.S. media, most Americans are unaware of the plight of Palestinians, who are all Arab and mostly Muslim. Almost all Jews who live in what is left of Palestine are euphemistically called “settlers” by U.S. media, not as unlawful occupiers. By residing in Palestine, they violate international law, Geneva Accords, and clear stipulations of the UN Charter. The rare exceptions are a handful of Jews who belong to a peaceful, independent sect.

This dark, undeserved cloud over the reputation of an unrelenting grand champion of human rights will have a silver lining if it awakens the American people to their own quiet, complicit role in Israel’s sustained violation of Palestinian rights.

I offer unique credentials in defending Thomas. Although a lifelong admirer, I first met her in October 2009 at a dinner in Washington. When I greeted her, she addressed me as They Dare to Speak Out Findley, using the title of my bestseller book published in 1985. At my invitation she spoke this past April to a capacity, enthusiastic crowd at IllinoisCollege, Jacksonville, Illinois. While hosting her at dinner the previous evening, I found her a delightful, warm, compassionate human being dedicated to equal justice for all.

For her edifying outburst, Helen Thomas should be congratulated, not condemned. It could prove to be one of her finest contributions in our nation’s often-faltering quest for justice.

Paul Findley resides in Jacksonville, Illinois. He served 22 as a U.S. representative from Illinois. He is the author of a highly praised biography, A. Lincoln: The Crucible of Congress and four books on the Arab-Israeli conflict, the latest being a memoir tentatively titled, Taking the High Road: Confronting Bias, Bigotry, War. It is scheduled for publication next spring by Lawrence Hill Books.